Pada Jarak yang Telah Memisahkan


Pada Jarak yang Telah Memisahkan

Oleh: Resti Hanafiani

Dokumen pribadi

Beberapa perahu kulihat tiada melaut. Gontai ke kanan, gontai ke kiri tersentuh angin laut. Benar-benar aku terlarut senja itu. Pasir Pantai Perawan serasa satu paket kasur dan selimut empuk. Riuh ombak adalah alunan melodi musiknya. Ditambah dengan secangkir kopi sepahit hidupku lengkap sudah menemani.
 
Dari ke jauhan, beberapa perahu kembali ke tepi urung melaut. Memang senja ini terasa begitu dingin. Kopi panas yang aku teguk pun tak dapat membuat hangat tubuh ini. Alamat badai bisa saja terjadi dalam benakku. Tetapi dua tiga kapal terlihat tetap nekat menjauh dari tepi pantai. Aku jadi teringat lima tahun lalu.  Aku juga pekerja keras seperti para nelayan perahu itu. Mendung sedikit bukan alasan untuk tidak  melaut  karena ada satu hajat yang ingin segera bisa terkabul. Hajat itu adalah menikahi kekasihku Intan.
           
            Tiba-tiba angin kencang bertiup kembali. Membuatku sontak terkejut dari lamunan. Ah dipikir-pikir dalam hati, “Biar saja hujan. Biar basah semua-muanya. Pantai, jalanan, pohon, rumah, hatiku bahkan acara resepsi pernikahan mantanku.” dalam benakku berucap sambil menyeruput  kopi.
             
           Aku embuskan napas panjang, mencoba untuk mengatur emosi. Jaga-jaga takut kalap hilang akal, malah  mencoba menceburkan diri. Setelah agak tenang,  kopi panas bin super pahit itu aku sruput kembali. Uap panas kopi berhasil membuat tubuh kembali tenang.
          
              Aku menatap langit senja yang semakin menjingga. Cukup berawan sore itu. Namun, dari ke jauhan, terlihat tubuh lelaki cungkring bin hitam legam melambai ke arahku. Bagi sebagian orang, terlebih orang awam atau wisatawan pasti akan terkejut dan merasa takut. Tetapi bagi diriku itu tidak akan terjadi.  Karena sudah pasti itu adalah Thomas. Sahabat sekaligus warga terunik dan terspesial di daerah tempat tinggalku.
             
             Kulitnya yang terlampau eksotis membuatnya paling beda di antara warga  pulau. Memang Thomas sendiri adalah anak rantau, alias bukan orang asli pulau ini.
           
             Kulitnya yang hitam tiba-tiba mengingatkan aku pada kopi yang sedari tadi aku minum. Buru-buru aku sruput setengah kopi yang tersisa. Thomas yang tiba-tiba sudah berada di depan ku langsung mengambil kopi di genggaman. Sial panas dan pahitnya  kopi membuat aku tidak bisa cepat-cepat menghabiskannya.
     
          “Bikin sendiri aja si Thom. Kamu tuh kebiasaan orang  lagi ngopi enak-enak diganggu.”
          “Ya bagi-bagi rezeki, bagi-bagi kebagiaan. Kamu cuma ngasih aku kopi aja aku udah seneng kok.”
          “Kamu bahagia, kamu seneng. Lah akunya yang amsyong. Orang minta kopinya tiap hari kok.”
        “Ya abis kopi buatanmu enak. Jangan salahin aku. Salahinnya diri kamu sendiri kenapa buat kopi enak  terus.”
         “Thomas.”
         “Hmmm,” jawab Thomas sembari menyeruput kopi.
       “Aku rasa kamu hitam gitu bukan gara-gara pigmen ras kamu. Tapi gara-gara kebanyakan minum kopi orang!” kataku menahan rasa kesal.
        “Sembarangan kamu. Aku hitam gini udah sejak lahir.”
       “Kamu hitam sejak lahir aku percaya, kalau jelek dari lahir justru itu yang paling aku percaya. Tapi, ya, seinget aku nih, waktu tujuh tahun lalu pas kamu tiba di pulau ini, ya belum sehitam ini. Sekarang-sekarang aja  semenjak kamu suka ngambilin kopiku, kamu tambah hitam. Beneran deh.”
       “Kamu tuh, ya Fi … Raffi …  susah banget terima kenyataan mengakui kalau sebetulnya aku lebih ganteng dari kamu.”
        “Lho, buktinya?” tanyaku heran.
        “Lho, bukti? Aku yang hitam gini aja Aci setia sama aku. Kamu yang sawo matang, Intan malahan memilih nikah sama laki-laki seberang palau.”
        “Sombong kamu. Sahabatnya lagi sedih malah bahas mantannya. Kamu tuh bener temen aku apa bukan sih?”
         “Kamu gitu aja marah. Yaudah nih aku kasih kopi biar gak marah lagi.”
         “Ogah, gak mau. Nanti ketularan hitam kayak kamu.”
         “Emang bener-bener kamu ini, ya, Fi!”
         Seketika tawa kami berdua pecah di tengah deruan angin  pantai yang mulai agak lebih kencang.

        Intan, wanita yang aku cintai itu memilih menikah dengan laki-laki seberang pulau. Katanya sih bukan karena  harta, tahta, atau pun perjodohan ala Sitti Nurbaya. Namun, tiba-tiba saja orang tua Intan tidak setuju dengan hubungan kami. Kataya, anaknya yang manis dan cantik itu tidak cocok bersanding dengan wajahku yang pas-pasan ini. Lebih cocok bersanding dengan laki-laki seberang pulau yang kebanyakan orang bilang wajahnya mirip artis, yaitu vokalis personel band Hijau Dedaunan.

        Ah! ala-ala permainan mereka saja pikirku. Aku tahu laki-laki yang wajahnya mirip vokalis band itu kan salah satu pemilik rumah makan yang cukup terkenal dan sering sekali dikunjungi wisatawan di pulau sana. Ujung-ujungnya tetap persoalan harta.
            
       Apalah daya si nelayan pekerja keras ini bersanding dengan raja pemilik rumah makan. Mau wajahku setampan vokalis band Hijau Tahi Kuda pun aku pasti akan kalah jika persoalannya adalah kekayaan.
          
      Aku menarik napas panjang. Kemudian beranjak bangun mengajak Thomas untuk pulang. Apalah cinta itu? Aku tidak tahu arti cinta yang sesungguhnya  untuk saat ini. Jika aku bilang cinta adalah ketulusan, nyatanya  Intan meninggalkan aku demi orang  yang lebih berada. Jadi, cinta adalah harta. Namun nyatanya, aku juga melihat ketulusan di dalam cintanya Thomas dan Aci. Thomas yang sebenarnya lebih banyak kekurangannya dari pada aku, tetapi Aci malah tetap setia sampai saat ini. Pernah ada orang kaya dari pulau seberang yang ingin melamar, Aci justru menolak dengan alasan sangat mencintai  Thomas dengan segala kesederhanaan yang dimiliki Thomas.
             
        Sekarang aku sendiri. Berjalan menyisir Pantai Perawan tanpa Intan. Masih pengap terasa ketika menyusuri pantai hingga ke tepi ujung.  Pada jarak laut yang memisahkan aku dan Intan, dan pada jarak hubungan ini,  dalam diam aku masih menaruh cinta dan rindu pada mantan kekasihku itu.
           
                Rubrik Majalah Wakanda Edisi Pulau Pari 2018
UNJ 2018


Komentar