Ketika
Takbir Berkumandang, Ibu Menerima KedatanganNya
Oleh:
Resti Hanafiani
"Kamu pulang kan, Nak? Ibu rindu sama kalian. Ibu
janji akan memasak makanan kesukaan kamu nanti. Sudah dua tahun kamu belum
pulang. Ibu rindu sama Kamu, Rania, Anna. Fan, Kamu pulang kan, Nak?"
***
Hj.
Hudaedah, Janda kaya beranak satu yang termasyur dan dihormati di kota
istimewa, Yogyakarta. Tepatnya di
Kecamatan Gondokusuman, Desa Demangan. Suaminya adalah Tentara Angkatan Darat
bernama Mayjen. Sudarso. Sayangnya
Mayjen. Sudarso gugur saat tergabung dengan Kontingen Garuda dalam misi
perdamaian dunia di Palestina saat anaknya baru menginjak sekolah menengah
pertama. Tinggal lah Hj. Hudaedah dengan
anaknya seorang. Meski tanpa figur suami dan ayah,Hj. Hudaedah berhasil
membesarkan anaknya seorang diri. Suaminya yang Mayjen itu meninggalkan Hj Hudaedah dengan harta yang terbilang sangat
cukup bagi mereka berdua. Meskipun ditinggal suami saat dirinya masih cukup
muda,Hj. Hudaedah tidak pernah ada
niatan lagi untuk menikah. Ia lebih memilih untuk fokus membesarkan buah
hatinya dengan Sudarso walaupun seorang diri.
Rafan, anak
semata wayang kebanggaan Hj. Hudaedah itu kini menjadi wakil Direktur PT
Rivera. Perusahaan yang cukup besar di kota Aceh yang bergerak dalam produksi
minyak bumi. Ya, itu lah aku. Rafan Sudarso, anak semata wayang Hj. Hudaedah
dan Mayjen. Sutoya. Ibu tidak pernah mengizinkanku mengikuti jejak ayah menjadi
tentara karena trauma masa lalunya. Maka jadilah aku Wakil Direktur di PT
Rivera seperi sekarang ini. Saat ini, aku
sudah menikah dan memiliki seorang anak. Rania istriku dan bidadari kecilku Anna.
Aku tinggal
di Aceh bersama anak dan istri. Sedangkan Ibu tinggal di Yogyakarta dengan
seorang pembantu di rumah yang cukup besar. Ibu menolak untuk ikut bersamaku ke
Aceh. Ibu tidak pernah ingin meninggalkan rumah yang penuh dengan kenangan
orang-orang yang dicintainya. Ya, begitulah sekiranya Ia menolak setiap saat
aku mengajaknya untuk tinggal bersama di Aceh.
Pembantu
kami Mbok Luh wanita 45 tahunan itu sudah mengabdi di keluarga kami selama 15
tahun. Maka tak heran bila Mbok Luh sudah kami amggap seperti keluarga sendiri.
Mbok Luh lah yang sehari-hari menemani ibu dan membantu ibu di rumah.
Tak terasa
kini bulan Ramadan sudah menerima kembali. Ini adalah lebaran kedelapan aku
bersama Anna. Sama seperti keluarga lainnya, tradisi mudik juga sering kami
lakukan. Untungnya orang tua Rania adalah asli orang Aceh. Jadi aku tak perlu
capek pergi ke sana kemari saat musim mudik. Biasanya aku akan berlebaran
dahulu di Aceh, baru kemudian berangkat ke Yogyakarta menemui ibu. Namun
sayang, sudah dua tahun ini aku tidak pulang ke yogyakarta. Tuntutan pekerjaan
di Aceh membuat aku terpaksa tidak bisa pulang menemui ibu. Maka tidak heran
saat Ramadan ini ketika ibu menelpon yang ia tanyakan apakah aku akan pulang
atau tidak. Contohnya seperti siang ini.
"Kamu pulang kan, Nak? Ibu rindu sama kalian. Ibu
janji akan memasak makanan kesukaan kamu nanti. Sudah dua tahun kamu belum
pulang. Ibu rindu sama Kamu, Rania, Anna. Fan, Kamu pulang kan, Nak?"
"Iya, Bu. Tahun ini akan aku usahakan untuk
pulang. Tapi aku tidak bisa janji. Soalnya sedang ada proyek besar yang tidak
bisa aku tinggal."
"Ibu sudah rindu."
"Iya, Bu. Rafan, Rania, dan Anna juga rindu sama
Ibu."
"Kamu janji sama ibu pulang ya, Fan. Ibu ingin
sekali ketemu kamu biarpun cuma sehari. Kamu pulang kan, Nak?"
"Iya, Bu. InsyaAllah."
Itu lah
yang selalu ditanyakan ibu setiap saat kami bertelepon. Berulang kali ibu bertanya hal yang sama, berulang kali juga
alu menjawabnya dengan jawaban yang sama. Aku sebetulnya rindu dengan ibu.
Namun pekerjaan ini benar-benar tidak dapat aku tinggalkan. Lagi pula ini untuk
memenuhi kebutuhan ibu dan keluargaku juga.
Lagi pula
aku tidak terlalu cemas karena ibu tidak sendiri, ada Mbok Luh yang menemani
ibu. Terlebih ibu adalah salah seorang
yang cukup dihormati di sana. Banyak tetangga yang ramah dan sesekali
berkunjung ke rumah ibu. Tentu ibu tidak akan terlalu kesepian pikirku. Hj.
Didah, begitulah panggilan akrab ibu di Yogyakarta.
***
Kini puasa
sudah menginjak hari ke-28. Satu hari lagi menuju hari kemenangan. Ibu tetap
pada rutinitasnya meneleponku menanyakan apakah aku akan pulang atau tidak. Ah
ibu, sejujurnya anakmu ini ingin pulang. Tapi apa daya, pekerjaanku menuntutku
untuk tidak pulang. Sampai pada tengah malam Mbok Luh menelepon kami dari
Yogyakarta.
"Assalamualaikum,
Tuan."
"Wa'alaikumussalam,
Mbok Ada apa? Gimana kabar Ibu dan Mbok?"
"Hmm.
Gimana ya Mbok bilangnya. Haduh..."
"Kenapa
Mbok? Ada yang tidak beres?"
"Ibu
Tuan. Ibu sakit."
Tiba-tiba
kalimat Mbok Luh menghentak hatiku. Ah ibu, tidak biasanya wanita itu sakit.
Aku tahu ibu adalah wanita yang peduli terhadap kesehatannya. Aku tahu ibu
selalu berolahraga dan tidak pernah makan sembarangan. Aku harus menemuinya.
Segera aku
membangunkan Rania untuk bersiap-siap. Tiba-tiba handphone-ku berbunyi.
Alarm pengingatku memberitahu bahwa besok aku harus menghadiri rapat pertemuan
dengan para pemegang saham. Akhirnya aku memutuskan untuk Rania dan Anna saja
yang terlebih dahulu menemui ibu. Baru setelahnya aku akan menyusul menemui ibu
di Yogyakarta.
Pukul 08.00
saat puasa hari ke 29 aku, Rania, dan Anna siap-siap untuk pergi ke tujuan
masing-masing. Rania dan Anna pergi ke bandara, sedangkan aku pergi ke kantor
untuk menghadiri rapat. Setibanya
aku di kantor rapat langsung dimulai. Di sela-sela rapat aku mencuri-curi
melihat handphone menunggu kabar Rania dan Anna.
Rapat selesai pada
pukul 2 siang. Aku memutuskan untuk langsung ke bandara menyusul Rania. Tapi
tiba-tiba asistenku meminta untuk tinggal sebentat karena ada beberapa dokumen
yang harus aku tanda tangani.
Sekitar
pukul 4 sore, Rania menelponku kalau dia sudah sampai di Yogyakarta. Ia memberi
kabar tentang ibu. Ibu sudah tidak ingin makan katanya. Biarpun sakit ibu tetap
berpuasa. Namun, saat berbuka dan saur ibu hanya makan sedikit. Satu kurma dan
seteguk air putih. Wajahnya lemah dan lesu. Rania meminta ibu untuk dibawa ke
rumah sakit. Namun, ibu menolak memilih untuk menungguku pulang ke rumah. Baiklah bu,
aku akan pulang.
Sekitar
pukul 5 setelah pekerjaan selesai aku bergegas menuju bandara. Sial jalur
menuju bandara lumayan padat. Aku menghabiskan waktu satu jam menuju bandara
yang biasanya bisa ditempuh dalam waktu 20 menit.
Sayup-sayup
kumandang takbir mulai terdengar bersautan. Ya Tuhan, bayang-bayang wajah ibu
tiba-tiba melintas dipikiranku. Kata-kata ibu sewaktu ditelepon terngiang di
kupingku.
"Kamu
pulang kan, Nak? Ibu rindu."
"Ya,
Bu. Aku pulang. Aku juga rindu," kataku dalam hati.
Pesawatku
lepas landas pukul 8 malam. Dari dalam pesawat sebelum terbang tinggi sesekali
aku melihat kembang api diberbagai titik kota Aceh. Suasana malam takbiran
semakin terasa, pikirku. Aku memejamkan mataku membayangkan sesampainya di Yogya
aku akan langsung memeluk ibu dengan erat. Aku terus memejamkan mata
membayangkan hal-hal bahagia sampai tak terasa aku pun terlelap.
Beberapa jam kemudian, seorang
pramugari membangunkanku. Aku sudah sampai di bandara Yogyakarta katanya. Senyum
pun mengembang di pipiku.
"Ibu
anakmu pulang."
Segera aku
bergegas mencari taksi untuk menuju rumah ibu di desa Demangan. Saat di dalam
taksi aku mengecek handphone apakah
ada pesan masuk dari Rania atau tidak. Ternyata ada 30 panggilan tak terjawab
dari Rania dan Mbok Luh. Hatiku tiba-tiba terasa tak karuan. Segera aku
menelpon balik Rania. Saat sebelum menelpon aku melihat jam di tangan sudah
menunjukkan pukul 1 dini hari.
Telpon
terhubung, tapi Rania tidak mengangkatnya. Aku mencoba menelpon Mbok Luh, tapi
sama saja. Perasaanku makin tak karuan. Sayup-sayup takbir terdengar bersautan
di berbagai titik. Aku meminta pak supir agak melajukan kendaraannya.
Setibanya
di rumah ibu, terlihat berjejer mobil dan motor di pekarangan rumah. Pagar
rumah terbuka lebar. Kerumunan tetangga dan saudara-saudaraku hadir di dalam
rumah besar itu. Annna
tiba-tiba datang memelukku dan memintaku untuk digendong.
"Nenek
sama Ibu di mana Anna?" kataku bertanya pada Anna.
"Di
ruang keluarga," ucapnya polos, sembari menunjuk ke ruang keluarga.
Aku
lalu bergegas pergi menuju ruang keluarga sembari menggendong Anna. Setibanya di depan pintu, paman dan bibi menahan lalu
memaki diriku.
"Kemana
saja kamu? Ibumu sakit dan hanya ingin menemuimu. Apa susahnya datang ke sini
sebentar saja. Sudah dua tahun kamu tidak menemui ibumu, kakak saya, Hj.
Hudaedah!" bentak paman yang tertuju langsung kepadaku.
"Kenapa
hanya pekerjaan yang kamu pikirkan, Lek! Sudahlah mas ada Anna di sini. Tidak
baik marah seperti itu di depan Anna," ucap bibi kemudian mencoba melerai.
"Ayah
Anna takut." Seketika gadis kecilku itu merangkulkan tangannya ke leherku dan menyembunyikan wajahnya yang takut.
"Maafkan Pakde dan Bude, ya, Anna. Rafan sekarang kamu temui Ibu," ucap bibi yang merasa bersalah.
Hatiku
bingung tak karuan. Seribu tanya datang menghampiri pikiranku. Ada apa dengan
ibu sebenarnya. Ketika memasuki
ruang tengah, tempat berkumpulnya keluarga besar Mayjen. Sudarso, aku melihat
ibu tertidur di kasur. Rania menunduk di samping ibu sambil memegangi tangannya.
Saat melihatku, Rania langsung datang dan memeluk aku. Setelahnya, Anna ia ambil dari
gendongaku.
"Ibu
menerima kedatangannya di malam takbiran saat menunggu kamu pulang," ucap parau
Rania sambil air matanya menetes perlahan.
Siapa yang
ibu terima kedatangannya? Aku terus bertanya dalam hati. Aku segera mendekati
ibu. Ku lihat wajah ibu dari dekat. Wajahnya putih bersih. Senyum mengembang di
bibirnya.
"Bu
aku pulang." Kataku membisikannya dekat telinga ibu.
Saat aku
memegang tangan ibu, tangannya terasa dingin.
"Rania ... tangan ibu dingin. Tolong ambilkan selimut. Nanti ibu bisa sakit lagi." Perintahku pada Rania, tetapi ia hanya
menggeleng.
Aku mulai
merasa ada yang aneh. Tiba-tiba pertanyaanku tadi terbesit kembali dalam
pikiranku. Siapa yang ibu terima kedatangannya? Pikiranku mulai tidak karuan.
Pikiran aneh datang mengusik. Jantungku
mulai berdebar kencang. Aku mendekat ke wajah ibu. Tidak ada embusan napas.
Aku mendekat ke dada ibu. Tidak ada detak jantung. Ah semua ini pasti salah.
Berkali-kali aku memeriksa untuk memastikan. Tiba-tiba suara pengumuman dari masjid
terdengar.
"Assalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh. Innalillahi wa innailaihu rojiun ... telah
berpulang ke Rahmat Tullah. Ibu Hj. Hudaedah, pada hari Jum'at pukul 00.30
dalam usia 56 tahun. Sekali lagi Innalillahi
wa innailaihu rojiun ... telah berpulang ke Rahmat Tullah. Ibu Hj. Hudaedah,
pada hari Jum'at pukul 00.30 dalam usia 56 tahun."
Dunia seakan menghantam tubuhku. Aku rebah jatuh ke lantai. Rasanya seperti
tak bertulang lagi. Air mata terasa ingin tumpah lurah. Dadaku terasa sesak
seperti tertusuk pasak sampai menembus ke belakang. Tangis
seketika pecah di rumah besar itu. Paman, bibi, dan saudara yang lain mencoba
menenangkan aku yang sudah seperti orang kesetanan, menangis di lantai. Rania
memeluk Anna sembari menangis dan sesekali mencium Anna.
Aku paham
sekarang. Ternyata yang ibu terima kedatangannya adalah malaikat maut. Beliau
datang sesaat sebelum aku tiba di rumah. Aku terlambat, kalah cepat.
Mengapa tidak dari
dua tahun lalu aku lebih dulu mengunjungi ibu? Sudah tiada, baru terasa.
Di malam takbiran ini, ibu menerima kedatangan malaikat maunya.
Rubrik
Majalah Wakanda Edisi Ramadan 2018.
UNJ 2018.
Komentar
Posting Komentar