Ketika Takbir Berkumandang, Ibu Menerima KedatanganNya

Ketika Takbir Berkumandang, Ibu Menerima KedatanganNya

Oleh: Resti Hanafiani

Image by <a href="https://pixabay.com/users/6011939-6011939/?utm_source=link-attribution&amp;utm_medium=referral&amp;utm_campaign=image&amp;utm_content=2545111">Ross Cains</a> from <a href="https://pixabay.com/?utm_source=link-attribution&amp;utm_medium=referral&amp;utm_campaign=image&amp;utm_content=2545111">Pixabay</a>

    "Kamu pulang kan, Nak? Ibu rindu sama kalian. Ibu janji akan memasak makanan kesukaan kamu nanti. Sudah dua tahun kamu belum pulang. Ibu rindu sama Kamu, Rania, Anna. Fan, Kamu pulang kan, Nak?"
***
     Hj. Hudaedah, Janda kaya beranak satu yang termasyur dan dihormati di kota istimewa,  Yogyakarta. Tepatnya di Kecamatan Gondokusuman, Desa Demangan. Suaminya adalah Tentara Angkatan Darat bernama Mayjen. Sudarso.  Sayangnya Mayjen. Sudarso gugur saat tergabung dengan Kontingen Garuda dalam misi perdamaian dunia di Palestina saat anaknya baru menginjak sekolah menengah pertama. Tinggal lah Hj. Hudaedah  dengan anaknya seorang. Meski tanpa figur suami dan ayah,Hj. Hudaedah berhasil membesarkan anaknya seorang diri. Suaminya yang Mayjen itu meninggalkan Hj  Hudaedah dengan harta yang terbilang sangat cukup bagi mereka berdua. Meskipun ditinggal suami saat dirinya masih cukup muda,Hj.  Hudaedah tidak pernah ada niatan lagi untuk menikah. Ia lebih memilih untuk fokus membesarkan buah hatinya dengan Sudarso walaupun seorang diri.
 
Rafan, anak semata wayang kebanggaan Hj. Hudaedah itu kini menjadi wakil Direktur PT Rivera. Perusahaan yang cukup besar di kota Aceh yang bergerak dalam produksi minyak bumi. Ya, itu lah aku. Rafan Sudarso, anak semata wayang Hj. Hudaedah dan Mayjen. Sutoya. Ibu tidak pernah mengizinkanku mengikuti jejak ayah menjadi tentara karena trauma masa lalunya. Maka jadilah aku Wakil Direktur di PT Rivera seperi sekarang ini.  Saat ini, aku sudah menikah dan memiliki seorang anak. Rania istriku dan bidadari kecilku Anna.
 
Aku tinggal di Aceh bersama anak dan istri. Sedangkan Ibu tinggal di Yogyakarta dengan seorang pembantu di rumah yang cukup besar. Ibu menolak untuk ikut bersamaku ke Aceh. Ibu tidak pernah ingin meninggalkan rumah yang penuh dengan kenangan orang-orang yang dicintainya. Ya, begitulah sekiranya Ia menolak setiap saat aku mengajaknya untuk tinggal bersama di Aceh.
 
Pembantu kami Mbok Luh wanita 45 tahunan itu sudah mengabdi di keluarga kami selama 15 tahun. Maka tak heran bila Mbok Luh sudah kami amggap seperti keluarga sendiri. Mbok Luh lah yang sehari-hari menemani ibu dan membantu ibu di rumah.
 
Tak terasa kini bulan Ramadan sudah menerima kembali. Ini adalah lebaran kedelapan aku bersama Anna. Sama seperti keluarga lainnya, tradisi mudik juga sering kami lakukan. Untungnya orang tua Rania adalah asli orang Aceh. Jadi aku tak perlu capek pergi ke sana kemari saat musim mudik. Biasanya aku akan berlebaran dahulu di Aceh, baru kemudian berangkat ke Yogyakarta menemui ibu. Namun sayang, sudah dua tahun ini aku tidak pulang ke yogyakarta. Tuntutan pekerjaan di Aceh membuat aku terpaksa tidak bisa pulang menemui ibu. Maka tidak heran saat Ramadan ini ketika ibu menelpon yang ia tanyakan apakah aku akan pulang atau tidak. Contohnya seperti siang ini. 
 
    "Kamu pulang kan, Nak? Ibu rindu sama kalian. Ibu janji akan memasak makanan kesukaan kamu nanti. Sudah dua tahun kamu belum pulang. Ibu rindu sama Kamu, Rania, Anna. Fan, Kamu pulang kan, Nak?"
    "Iya, Bu. Tahun ini akan aku usahakan untuk pulang. Tapi aku tidak bisa janji. Soalnya sedang ada proyek besar yang tidak bisa aku tinggal."
    "Ibu sudah rindu."
    "Iya, Bu. Rafan, Rania, dan Anna juga rindu sama Ibu."
    "Kamu janji sama ibu pulang ya, Fan. Ibu ingin sekali ketemu kamu biarpun cuma sehari. Kamu pulang kan, Nak?"
    "Iya, Bu. InsyaAllah."
 
Itu lah yang selalu ditanyakan ibu setiap saat kami bertelepon. Berulang kali ibu  bertanya hal yang sama, berulang kali juga alu menjawabnya dengan jawaban yang sama. Aku sebetulnya rindu dengan ibu. Namun pekerjaan ini benar-benar tidak dapat aku tinggalkan. Lagi pula ini untuk memenuhi kebutuhan ibu dan keluargaku juga.
 
Lagi pula aku tidak terlalu cemas karena ibu tidak sendiri, ada Mbok Luh yang menemani ibu. Terlebih ibu  adalah salah seorang yang cukup dihormati di sana. Banyak tetangga yang ramah dan sesekali berkunjung ke rumah ibu. Tentu ibu tidak akan terlalu kesepian pikirku. Hj. Didah, begitulah panggilan akrab ibu di Yogyakarta.
***
Kini puasa sudah menginjak hari ke-28. Satu hari lagi menuju hari kemenangan. Ibu tetap pada rutinitasnya meneleponku menanyakan apakah aku akan pulang atau tidak. Ah ibu, sejujurnya anakmu ini ingin pulang. Tapi apa daya, pekerjaanku menuntutku untuk tidak pulang. Sampai pada tengah malam Mbok Luh menelepon kami dari Yogyakarta.
 
"Assalamualaikum, Tuan."
"Wa'alaikumussalam, Mbok Ada apa? Gimana kabar Ibu dan Mbok?"
"Hmm. Gimana ya Mbok bilangnya. Haduh..."
"Kenapa Mbok? Ada yang tidak beres?"
"Ibu Tuan. Ibu sakit."
 
Tiba-tiba kalimat Mbok Luh menghentak hatiku. Ah ibu, tidak biasanya wanita itu sakit. Aku tahu ibu adalah wanita yang peduli terhadap kesehatannya. Aku tahu ibu selalu berolahraga dan tidak pernah makan sembarangan. Aku harus menemuinya.
 
Segera aku membangunkan Rania untuk bersiap-siap. Tiba-tiba handphone-ku berbunyi. Alarm pengingatku memberitahu bahwa besok aku harus menghadiri rapat pertemuan dengan para pemegang saham. Akhirnya aku memutuskan untuk Rania dan Anna saja yang terlebih dahulu menemui ibu. Baru setelahnya aku akan menyusul menemui ibu di Yogyakarta.
 
 Pukul 08.00 saat puasa hari ke 29 aku, Rania, dan Anna siap-siap untuk pergi ke tujuan masing-masing. Rania dan Anna pergi ke bandara, sedangkan aku pergi ke kantor untuk menghadiri rapat. Setibanya aku di kantor rapat langsung dimulai. Di sela-sela rapat aku mencuri-curi melihat handphone menunggu kabar Rania dan Anna. 
 
Rapat selesai pada pukul 2 siang. Aku memutuskan untuk langsung ke bandara menyusul Rania. Tapi tiba-tiba asistenku meminta untuk tinggal sebentat karena ada beberapa dokumen yang harus aku tanda tangani.
 
Sekitar pukul 4 sore, Rania menelponku kalau dia sudah sampai di Yogyakarta. Ia memberi kabar tentang ibu. Ibu sudah tidak ingin makan katanya. Biarpun sakit ibu tetap berpuasa. Namun, saat berbuka dan saur ibu hanya makan sedikit. Satu kurma dan seteguk air putih. Wajahnya lemah dan lesu. Rania meminta ibu untuk dibawa ke rumah sakit. Namun, ibu menolak memilih untuk menungguku pulang ke rumah. Baiklah bu, aku akan pulang.
 
Sekitar pukul 5 setelah pekerjaan selesai aku bergegas menuju bandara. Sial jalur menuju bandara lumayan padat. Aku menghabiskan waktu satu jam menuju bandara yang biasanya bisa ditempuh dalam waktu 20 menit.
 
Sayup-sayup kumandang takbir mulai terdengar bersautan. Ya Tuhan, bayang-bayang wajah ibu tiba-tiba melintas dipikiranku. Kata-kata ibu sewaktu ditelepon terngiang di kupingku.
 
"Kamu pulang kan, Nak?  Ibu rindu."
"Ya, Bu. Aku pulang. Aku juga rindu," kataku dalam hati.
 
Pesawatku lepas landas pukul 8 malam. Dari dalam pesawat sebelum terbang tinggi sesekali aku melihat kembang api diberbagai titik kota Aceh. Suasana malam takbiran semakin terasa, pikirku. Aku memejamkan mataku membayangkan sesampainya di Yogya aku akan langsung memeluk ibu dengan erat. Aku terus memejamkan mata membayangkan hal-hal bahagia sampai tak terasa aku pun terlelap.
 
Beberapa jam kemudian, seorang pramugari membangunkanku. Aku sudah sampai di bandara Yogyakarta katanya. Senyum pun mengembang di pipiku.
 
"Ibu anakmu pulang."
 
Segera aku bergegas mencari taksi untuk menuju rumah ibu di desa Demangan. Saat di dalam taksi aku mengecek  handphone apakah ada pesan masuk dari Rania atau tidak. Ternyata ada 30 panggilan tak terjawab dari Rania dan Mbok Luh. Hatiku tiba-tiba terasa tak karuan. Segera aku menelpon balik Rania. Saat sebelum menelpon aku melihat jam di tangan sudah menunjukkan pukul 1 dini hari.
 
Telpon terhubung, tapi Rania tidak mengangkatnya. Aku mencoba menelpon Mbok Luh, tapi sama saja. Perasaanku makin tak karuan. Sayup-sayup takbir terdengar bersautan di berbagai titik. Aku meminta pak supir agak melajukan kendaraannya.
 
Setibanya di rumah ibu, terlihat berjejer mobil dan motor di pekarangan rumah. Pagar rumah terbuka lebar. Kerumunan tetangga dan saudara-saudaraku hadir di dalam rumah besar itu. Annna tiba-tiba datang memelukku dan memintaku untuk digendong.
 
"Nenek sama Ibu di mana Anna?" kataku bertanya pada Anna.
"Di ruang keluarga," ucapnya polos, sembari menunjuk ke ruang keluarga.
 
Aku lalu bergegas pergi menuju ruang keluarga sembari menggendong Anna. Setibanya di depan pintu,  paman dan bibi menahan lalu memaki diriku.
 
"Kemana saja kamu? Ibumu sakit dan hanya ingin menemuimu. Apa susahnya datang ke sini sebentar saja. Sudah dua tahun kamu tidak menemui ibumu, kakak saya, Hj. Hudaedah!" bentak paman yang tertuju langsung kepadaku.
"Kenapa hanya pekerjaan yang kamu pikirkan, Lek! Sudahlah mas ada Anna di sini. Tidak baik marah seperti itu di depan Anna," ucap bibi  kemudian mencoba melerai.
"Ayah Anna takut." Seketika gadis kecilku itu merangkulkan tangannya ke leherku dan menyembunyikan wajahnya yang takut.
"Maafkan Pakde dan Bude, ya, Anna. Rafan sekarang kamu temui Ibu," ucap bibi yang merasa bersalah.
 
Hatiku bingung tak karuan. Seribu tanya datang menghampiri pikiranku. Ada apa dengan ibu sebenarnya. Ketika memasuki ruang tengah, tempat berkumpulnya keluarga besar Mayjen. Sudarso, aku melihat ibu tertidur di kasur. Rania menunduk di samping ibu sambil memegangi tangannya. Saat melihatku, Rania langsung datang dan memeluk aku. Setelahnya, Anna ia ambil dari gendongaku.
 
"Ibu menerima kedatangannya di malam takbiran saat menunggu kamu pulang," ucap parau Rania sambil air matanya menetes perlahan.
 Siapa yang ibu terima kedatangannya? Aku terus bertanya dalam hati. Aku segera mendekati ibu. Ku lihat wajah ibu dari dekat. Wajahnya putih bersih. Senyum mengembang di bibirnya. 
 
"Bu aku pulang." Kataku membisikannya dekat telinga ibu.
Saat aku memegang tangan ibu, tangannya terasa dingin.
 
"Rania ... tangan ibu dingin. Tolong ambilkan selimut. Nanti ibu bisa sakit lagi." Perintahku pada Rania, tetapi ia hanya menggeleng. 
 
Aku mulai merasa ada yang aneh. Tiba-tiba pertanyaanku tadi terbesit kembali dalam pikiranku. Siapa yang ibu terima kedatangannya? Pikiranku mulai tidak karuan. Pikiran  aneh datang mengusik. Jantungku mulai berdebar kencang. Aku mendekat ke wajah ibu. Tidak ada embusan napas. Aku mendekat ke dada ibu. Tidak ada detak jantung. Ah semua ini pasti salah. Berkali-kali aku memeriksa untuk memastikan. Tiba-tiba suara pengumuman dari masjid terdengar.
 
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Innalillahi wa innailaihu rojiun ... telah berpulang ke Rahmat Tullah. Ibu Hj. Hudaedah, pada hari Jum'at pukul 00.30 dalam usia 56 tahun. Sekali lagi Innalillahi wa innailaihu rojiun ... telah berpulang ke Rahmat Tullah. Ibu Hj. Hudaedah, pada hari Jum'at pukul 00.30 dalam usia 56 tahun."
 
  Dunia seakan menghantam tubuhku. Aku rebah jatuh ke lantai. Rasanya seperti tak bertulang lagi. Air mata terasa ingin tumpah lurah. Dadaku terasa sesak seperti tertusuk pasak sampai menembus ke belakang. Tangis seketika pecah di rumah besar itu. Paman, bibi, dan saudara yang lain mencoba menenangkan aku yang sudah seperti orang kesetanan, menangis di lantai. Rania memeluk Anna sembari menangis dan sesekali mencium Anna.
 
Aku paham sekarang. Ternyata yang ibu terima kedatangannya adalah malaikat maut. Beliau datang sesaat sebelum aku tiba di rumah. Aku terlambat, kalah cepat. 
 
Mengapa tidak dari dua tahun lalu aku lebih dulu mengunjungi ibu? Sudah tiada, baru terasa. Di malam takbiran ini, ibu menerima kedatangan malaikat maunya.

Rubrik Majalah Wakanda Edisi Ramadan 2018.

UNJ 2018.

Komentar