Gugur Sakura di Kala April
Kisah ini dimulai kala musim semi tiga tahun lalu. Ketika angin bertiup sendu dan
***
Tugas kuliah, organisasi,
dan kewajiban melayani senior menjadi makanan sehari- hari bagiku. Aku adalah mahasiswa tahun kedua jurusan Musikologi di Tokyo University of
the Art, Jepang. Denta Pinandito, si "Potret Lelaki Perkotaan", merupakan julukan yang teman- teman berikan
padaku.
Tentu saja! Jelas tergambar bukan, bahwa aku adalah potret mahasiswa populer di kampusku.
Sebelum melanjutkan
kuliah di Jepang,
aku sempat tinggal
dan belajar musik di
Amerika selama satu tahun.
Gaya hidup yang bebas dan tingginya tingkat keglamoran di Amerika membuat aku terbiasa
hidup untuk selalu tampil sempurna. Begitu
pula
dengan aku yang hidup di negara asalku. Hidup dalam keluarga yang tidak terlalu
kolot aturan, menjadikan aku selalu ingin melakukan semua
sesuai keinginanku sesempurna mungkin.
Meskipun begitu,
aku
selalu berusaha untuk menyesuaikan diri dengan budaya di mana tempat aku tinggal. Seperti sekarang ini saat aku di Jepang,
budaya menghormati senior tetap aku lakukan.
Intinya
supaya
aku bisa nyaman
selama berada di dunia
yang
aku tinggali
sekarang. Makanya,
aku
selalu berusaha mencoba untuk mengikuti alur budaya yang ada.
***
Suara biola yang enggan digesek sesekali terdengar menggema di ruang kelas. Hari
ini
adalah hari pertama
masuk kuliah setelah liburan musim dingin. Semangat mahasiswa belum memuncak untuk hari pertama. Tiba-tiba, Yixing temanku yang berasal dari Tiongkok
terbangun dari tidurnya dan
berseru.
"Dia datang!" kata Yixing dengan mata setengah
tertutup.
Sontak ucapannya itu membuat para mahasiswa mulai merapikan duduknya dan mengembalikan alat musik
yang dimainkan sebelumnya ke tempat asalnya. ZiYixing,
dikenal sebagai mahasiswa yang berempati kuat.
Ia
dapat
membaca,
merasakan,
dan
bahkan
menuliskan
notasi
setiap alunan musik
yang didengar. Perihal musik, ia sangat peka. Terlebih soal
Prof. Kotoko,
dosen jurusan musik yang
terkenal 'kolot aturan' tetapi sebetulnya baik hati. Sebelum batang hidung
Prof. Kotoko terlihat, Yixing sudah dapat merasakan kehadirannya.
Anehnya,
85% nya selalu tepat.
"Selamat pagi, ini adalah hari pertama kalian kembali ke kampus. Saya harap kalian dapat
menjalani hari ke depan di kampus, dengan bahagia!" ujar Prof. Kotoko memulai kelas.
"Selamat Pagi, Prof." jawab para mahasiswa kompak.
"Karena ini adalah hari pertama, saya yakin semangat kalian belum prima,
betul? Maka dari
itu, saya tidak akan berlama-lama mengisi kelas. Selain itu, untuk menambah semangat kalian di perkuliahan selanjutnya, saya memiliki satu pengumuman bagus untuk
kalian."
"Wuuuuuuu!" Para mahasiswa bersorak penasaran.
"Hahaha, tenang-tenang! Kalian ingat, sekarang kalian sudah berada
di tinggat dua. Berarti
sebentar lagi akan diadakan tur studi, benar begitu?"
"Kita semua akan pergi ke Kyoto dan belajar sejarah musik di sana selama dua minggu di
bulan April."
"Baiklah, mohon untuk tenang kembali. Mari kita lanjutkan pada
perkulihan kita
untuk hari ini," ujar Prof. yang seketika membuat ruang kelas
menjadi hening kembali.
***
Hari H tiba. Masih teringat jelas
díingatanku bahagianya para mahasiswa sewaktu diumumkannya tur studi. Sekarang
kebahagiaan itu semakin terlihat jelas
saat rombongan kami berangkat
menuju Kyoto dengan bus yang sudah disewa sebelumya. Ada dua jurusan yang ikut dalam tur studi ini, yaitu, jurusan musikologi dan vokal musik, yang nantinya akan sama-sama
belajar mengenai sejarah musik dan teknik bernyanyi lagu tradisional secara langsung dari
para
pelaku musik
tradisional di kota ini.
Sesampainya di lokasi semua terlihat
senang. Aktivitas belajar musik dengan para
narasumber pun berjalan dengan normal. Satu,
dua
hari aku mencoba menyesuaikan diri
dengan kebudayaan
baru di kota Kyoto. Sejujurnya aku sulit menyesuaikan karena aku yang
terbiasa
bebas di Tokyo, harus menaati beberapa aturan di Kyoto. Karena ini
merupakan tempat
bersejarah. Budaya leluhur banyak yang masih mereka junjung tinggi.
Bagi sebagian mahasiswa Jepang mungkin mereka sudah terbiasa
dengan aturan yang
ada.
Namun bagiku, ini terlalu sulit dan sedikit merepotkan. Tata cara menaruh sumpit,
menuang
air, makan
tidak boleh
bersisa, duduk disesuikan dengan
jabatan, dilarang
memakai
sandal di rumah.
Oh,
ini
sungguh merepotkan bagiku.
Seringkali
Prof. Kotoko
melototiku saat aku melakukan kesalahan. Aku tidak terbiasa teratur. Meskipun aku tinggal di Tokyo, teman-temanku tahu bahwa aku tidak teratur dan untungnya mereka
dapat memakluminya.
Seminggu berlalu, rasanya aku ingin menyudahi tur studi ini.
Selanjutnya, hari kesembilan tur studi dimulai. Prof.
Kotoko mengakatan bahwa akan ada satu
mahasiswi yang menyusul ke rombongan kami karena suatu alasan. Aku tidak
peduli. Karena
pikiranku hanya ingin pulang kembali ke Tokyo.
Sore di bulan April itu
terasa
sejuk.
Angin bertiup perlahan
menggugurkan bunga sakura yang bermekaran. Aku terhanyut suasana. Kupejamkan mata
menikmati sentuhan
angin dan sakura yang jatuh mengenai
wajahku. Pikiranku sesekali
berkata, sekarang aku
seperti berada di
dunia lain. Tiba-tiba
perlahan suara kerumunan orang hilang menjauh. Buru-buru aku membuka mata. Benar saja, aku kehilangan rombongan.
"Kemana mereka?" tanyaku pada diri sendiri dengan sedikit panik.
"Ah sudah lah. Lagi pula aku tidak ingin kembali." Kembali kupejamkan mata menikmati suasana. Tiba-tiba terdengar suara
sepatu mendekat. Angin bertiup lembut tetapi agak
kuat. Aku membuka mataku yang terpejam perlahan. Sakura berjatuhan tepat
di
depan menghalangi pandanganku. Samar tapi pasti, dari sisi kananku perlahan seorang wanita berjalan melewatiku beitu saja.
"Oh, siapakah gadis yang berjalan menghampiriku itu? Putih, teduh, manis,
dan
bersinar," kataku dalam hati dan tak terasa bibir ini
telah
membentuk bulan sabit yang runcing.
Ternyata, dia adalah Tsuraya Aizura. Mahasiswi yang Prof. Kotoko katakan akan menyusul sebelumnya. Ya, Tsuraya Aizura, mahasiswi jurusan Vokal Musik
keturunan Jepang-
Indonesia. Tsuraya Aizura, gadis putih, teduh, manis, dan
bersinar.
Semenjak bergabungnya Tsuraya dalam rombongan kami, aku menjadi terbiasa
dengan segala aturan yang tadinya menurutku merepotkan. Bahkan di depan Tsuraya aku
berusaha untuk sempurna dan tidak melakukan kesalahan. Semua yang
membuat aku tidak nyaman, seketika sirna demi untuk
dirinya. Semenjak pertemuan pertama, aku selalu berusaha mencari perhatiannya dan berusaha untuk
bisa
dekat dengan dirinya.
Singkat cerita, September tiba.
Hubunganku dengan Tsuraya semakin dekat. Hingga pada akhir Desember tahun pertama
aku
menyatakan cinta. Akhirnya kami resmi
berstatus sepasang kekasih. Tak banyak hari kami
lewati
bersama selain
membahas
soal musik.
Tsuraya sangat menyukai musik, karena baginya musik bisa menghilangkan beban sejenak. Aku suka musik, karena musik
mempertemukan aku dengan Tsuraya.
***
Liburan musim panas dimulai. Aku dan Tsuraya memutuskan untuk pergi berlibur
ke Indonesia. Maksud
hati ingin memperkenalkan Tsuraya kepada
keluargaku dan
memperkenalkan aku kepada keluarga Tsuraya di
Indonesia. Sesampainya di
Indonesia, aku langsung
mengunjungi kerabat Tsuraya di Yogyakarta.
Ah ternyata Tsuraya keturunan Yogya-Jepang. Karena terbiasa
dengan adat Jepang yang
taat aturan, keluarga Tsuraya di
Yogyakarta pun menerapkan hal yang
sama tetapi dengan aturan yang berlaku di budaya
Jawa. Seketika aku terdiam.
Satu minggu aku lalui tinggal bersama keluarga Tsuraya di Yogyakarta. Banyak pelajaran mengenai budaya
tata krama kehidupan
yang
aku pelajari di sini.
Tentu ini berbeda dengan budaya aku
ketika di rumah,
Amerika,
Tokyo,
dan
Kyoto. Pelajaran
mengenai musik juga aku dapatkan dari keluarga ini. Lagi-lagi keluarga Tsuraya membuat aku jatuh cinta padanya sekali lagi.
Setelah satu minggu berlal, aku dan Tsuraya memutuskan untuk mengunjungi orang tuaku di Jakarta. Leganya, sesampainya di Jakarta orang tuaku dapat menyambut baik Tsuraya. Ini lah saatnya Tsuraya yang disiplin menyesuaikan diri dengan keluargaku yang sedikit kurang peduli pada aturan. Untungnya pula ia bisa memahami kekuargaku dengan
baik. Seminggu Tsuraya
tinggal
bersama keluargaku. Setelahnya ia kembali ke Yogyakarta
menemui keluarganya.
Ada
rasa ingin ikut bersamanya kembali ke Yogyakarta. Namun, Tsuraya melarang dan memintaku
untuk tinggal
dengan keluargaku lebih lama. Baiklah. Aku tidak bisa bilang
tidak pada Tsuraya. Sesekali kami melepas rindu melalui telepon. Sesekali pula kami bertemu dengan saling mengunjungi satu-sama lain secara
bergantian. Setiap hari aku hidup,
setiap hari pula cinta itu tumbuh. Dibenakku hanya akan ada Tsuraya seterusnya.
Tiba-tiba pada awal
Februari tahun
ketiga
kami,
Tsuraya mengatakan ia
harus kembali ke Jepang lantaran neneknya sakit. Sayang, ketika itu aku sedang ada urusan yang
tidak
bisa
aku lewatkan. Tsuraya pun pergi ke Jepang seorang diri. Aku pun berjanji akan
segera menyusul dan menemuinya
segera.
Satu minggu sejak kepergiannya
aku
belum menerika pesan darinya. Aku mencoba
menghubunginya
dan
menghubungi keluarganya di Yogyakarta. Namun, hasilnya
nihil. Aku
pun
memutuskan kembali ke Jepang sekaligus
melanjutkan kuliahku.
Sesampainya di
Jepang aku langsung
pergi mengunjungi
nenek Tsuraya di
kota Kobe.
Namun tetangganya mengatakan bahwa mereka telah pindah rumah beberapa hari yang
lalu. Pikiranku mulai gelisah, carut-marut dengan segala kemungkinan baik-buruk yang akan terjadi.
Keesokan harinya
aku pergi kuliah dan menanyakan keberadaan Tsuraya pada
teman-temannya. Namun, katanya Tsuraya belum pernah terlihat di kampus semenjak kami
pergi ke Indonesia tahun lalu. Selain itu, tak ada satu pun dari mereka yang mengetahui kondisi nenek Tsuraya.
***
Dua bulan sudah aku hidup tanpa kabar dari Tsuraya. Hidupku menjadi tidak secerah dulu. Aku lebih sering murung dan pergi ke sekian tempat sendirian mencari Tsuraya. Hingga pada suatu malam aku mendapatkan kertas terselip di depan pintu apartemenku. Aku
membuka surat itu. Seketika kuremas dan segera
berlari sekencang mungkin. Air mata tidak
terasa jatuh di pipi. Aku terus berlari
dan
tidak memperdulikan sekitar. Saat itu
April, dan sakura mulai bermekaran lagi. Tiba-tiba daaaaarr! Benturan keras menyadarkan diriku. Dengan surat di tangan, aku berusaha untuk terus
menggenggamnya erat. Mataku kunang. Cairan semakin deras mengalir di mataku. Semua terasa sepi,
sesak, dan dingin. Angin bertiup lembut membawa Sakura
berguguran di jalanan.
"Aku kira,
dia
yang
sangat aku
cintai tidak akan
pergi meninggalkanku. Jujur aku
tidak menyangka,” ujarku dalam hati sembari menggenggam erat kertas di tangan.
“Lihat-lah bunga sakura yang berguguran itu terlihat sedih. Mengapa
ia terlihat sepertimu
Tsuraya?" Aku tertawa kecil, air mataku perlahan menetes. Napasku semakin
pengap. Mataku semakin berat. Sayup terdengar suara Tsuraya memanggil namaku.
"Siapa itu? Apa itu kau? Tsuraya, angin malam panjang di bawah sinar bulan, rasanya seperti
napasmu. Bukankah seharusnya kita berpisah baik-baik? Harusnya kau tunggu aku sebentar. Setidaknya sampai satu bulan terakhir sebelum musim semi. Sehingga aku dapat menebus janji, dan setidaknya
hatiku akan baik-baik saja. Karena ada kenangan tentang dirimu yang
dapat aku simpan lebih lama." Setelahnya duniaku menjadi gelap dan hening.
Kertas di tanganku perlahan terlepas dari genggaman. Terbang jauh dan semakin
menjauh terbawa angin
yang bertiup bersama guguran bunga sakura.
Di suatu tepi jalan
surat itu berhenti terbang dan memperlihatkan isinya. Di sana tertulis bahwa Tsuraya meninggal Januari lalu karena
penyakit jantung yang dideritanya.
Cerpen Lomba PEPSI 2019
UNJ 2019
Komentar
Posting Komentar