Gugur Sakura di Kala April

    

Gugur Sakura di Kala April

Karangan: Resti Hanafiani


https://pixabay.com/photos/spring-wind-petals-sakura-asia-952923/

        Kisah ini dimulai kala musim semi tiga tahun lalu. Ketika angin bertiup sendu dan sakura berguguran  rapuh di hadapanku. Saat itu pula mataku menemukan dirimu.

***

        Tugas kuliah, organisasi, dan kewajiban melayani senior menjadi makanan sehari- hari bagiku. Aku adalah mahasiswa tahun kedua jurusan Musikologi di Tokyo University of the Art, Jepang. Denta Pinandito, si "Potret Lelaki Perkotaan", merupakan julukan yang teman- teman berikan padaku. Tentu saja! Jelas tergambar bukan, bahwa aku adalah potret mahasiswa populer di kampusku.

        Sebelum  melanjutkan  kuliah  di  Jepang,  aku sempat  tinggal  dan belajar  musik di Amerika selama satu tahun. Gaya hidup yang bebas dan tingginya tingkat keglamoran di Amerika membuat aku terbiasa hidup untuk selalu tampil sempurna. Begitu pula dengan aku yang hidup di negara asalku. Hidup dalam keluarga yang tidak terlalu kolot aturan, menjadikan aku selalu ingin melakukan semua sesuai keinginanku sesempurna mungkin. Meskipun begitu, aku selalu berusaha untuk menyesuaikan diri dengan budaya di mana tempat aku tinggal. Seperti sekarang ini saat aku di Jepang, budaya menghormati senior tetap aku lakukan. Intinya  supaya  aku  bisa  nyaman  selama  berada  di  dunia  yang  aku  tinggali  sekarang. Makanya, aku selalu berusaha mencoba untuk mengikuti alur budaya yang ada.

***

        Suara biola yang enggan digesek sesekali terdengar menggema di ruang kelas. Hari ini adalah hari pertama masuk kuliah setelah liburan musim dingin. Semangat mahasiswa belum memuncak untuk hari pertama. Tiba-tiba, Yixing temanku yang berasal dari Tiongkok terbangun dari tidurnya dan berseru.

      "Dia datang!" kata Yixing dengan mata setengah tertutup.

        Sontak ucapannya itu membuat para mahasiswa mulai merapikan duduknya dan mengembalikan alat musik yang dimainkan sebelumnya ke tempat asalnya. ZiYixing, dikenal sebagai mahasiswa yang berempati kuat.  Ia  dapat  membaca,  merasakan,  dan  bahkan  menuliskan  notasi  setiap alunan musik yang didengar. Perihal musik, ia sangat peka. Terlebih soal Prof. Kotoko, dosen jurusan musik yang terkenal 'kolot aturan' tetapi sebetulnya baik hati. Sebelum batang hidung Prof. Kotoko terlihat, Yixing sudah dapat merasakan kehadirannya. Anehnya, 85% nya selalu tepat.

    "Selamat pagi, ini adalah hari pertama kalian kembali ke kampus. Saya harap kalian dapat menjalani hari ke depan di kampus, dengan bahagia!" ujar Prof. Kotoko memulai kelas.

    "Selamat Pagi, Prof." jawab para mahasiswa kompak.

    "Karena ini adalah hari pertama, saya yakin semangat kalian belum prima, betul?  Maka dari itu, saya tidak akan berlama-lama mengisi kelas. Selain itu, untuk menambah semangat kalian di perkuliahan selanjutnya, saya memiliki satu pengumuman bagus untuk kalian."

    "Wuuuuuuu!" Para mahasiswa bersorak penasaran.  

    "Hahaha, tenang-tenang! Kalian ingat, sekarang kalian sudah berada di tinggat dua. Berarti sebentar lagi akan diadakan tur studi, benar begitu?" Seketika ruangan dipenuhi sorak-sorai dan tepuk tangan.

     "Kita semua akan pergi ke Kyoto dan belajar sejarah musik di sana selama dua minggu di bulan April." Sorak-sorai dan tepuk tangan semakin menggemuruh.

     "Baiklah, mohon untuk tenang kembali. Mari kita lanjutkan pada perkulihan kita untuk hari ini," ujar Prof. yang seketika membuat ruang kelas menjadi hening kembali.

 ***

Hari H tiba. Masih teringat jelas díingatanku bahagianya para mahasiswa sewaktu diumumkannya tur studi. Sekarang kebahagiaan itu semakin terlihat jelas saat rombongan kami berangkat menuju Kyoto dengan bus yang sudah disewa sebelumya. Ada dua jurusan yang ikut dalam tur studi ini, yaitu, jurusan musikologi dan vokal musik, yang nantinya akan sama-sama belajar mengenai sejarah musik dan teknik bernyanyi lagu tradisional secara langsung dari para pelaku musik tradisional di kota ini.

Sesampainya di lokasi semua terlihat senang. Aktivitas belajar musik dengan para narasumber pun berjalan dengan normal. Satu, dua hari aku mencoba menyesuaikan diri dengan kebudayaan baru di kota Kyoto. Sejujurnya aku sulit menyesuaikan karena aku yang terbiasa bebas di Tokyo, harus menaati beberapa aturan di Kyoto. Karena ini merupakan tempat bersejarah. Budaya leluhur banyak yang masih mereka junjung tinggi.

Bagi sebagian mahasiswa Jepang mungkin mereka sudah terbiasa dengan aturan yang ada. Namun bagiku, ini terlalu sulit dan sedikit merepotkan. Tata cara menaruh sumpit, menuang  air,  makan  tidak  boleh bersisa,  duduk  disesuikan  dengan  jabatan,  dilarang memakai  sandal  di  rumah.  Oh,  ini  sungguh merepotkan bagiku.  Seringkali  Prof. Kotoko melototiku saat aku melakukan kesalahan. Aku tidak terbiasa teratur. Meskipun aku tinggal di Tokyo, teman-temanku tahu bahwa aku tidak teratur dan untungnya mereka dapat memakluminya. Seminggu berlalu, rasanya aku ingin menyudahi tur studi ini.

Selanjutnya, hari kesembilan tur studi dimulai. Prof. Kotoko mengakatan bahwa akan ada satu mahasiswi yang menyusul ke rombongan kami karena suatu alasan. Aku tidak peduli. Karena pikiranku hanya ingin pulang kembali ke Tokyo.

Sore  di  bulan  April  itu  terasa  sejuk.  Angin  bertiup  perlahan  menggugurkan  bunga sakura yang bermekaran. Aku terhanyut suasana. Kupejamkan mata menikmati sentuhan angin dan sakura yang jatuh mengenai wajahku. Pikiranku sesekali berkata, sekarang aku seperti berada di dunia lain. Tiba-tiba perlahan suara kerumunan orang hilang menjauh. Buru-buru aku membuka mata. Benar saja, aku kehilangan rombongan.

     "Kemana mereka?" tanyaku pada diri sendiri dengan sedikit panik.

     "Ah sudah lah. Lagi pula aku tidak ingin kembali." Kembali kupejamkan mata menikmati suasana. Tiba-tiba terdengar suara sepatu mendekat. Angin bertiup lembut tetapi agak kuat. Aku membuka mataku yang terpejam perlahan. Sakura berjatuhan tepat di depan menghalangi pandanganku. Samar tapi pasti, dari sisi kananku perlahan seorang wanita berjalan melewatiku beitu saja.

   "Oh, siapakah gadis yang berjalan menghampiriku itu? Putih, teduh, manis, dan bersinar," kataku dalam hati dan tak terasa bibir ini telah membentuk bulan sabit yang runcing.

     Ternyata, dia  adalah Tsuraya Aizura. Mahasiswi yang Prof. Kotoko katakan akan menyusul sebelumnya. Ya, Tsuraya Aizura, mahasiswi jurusan Vokal Musik keturunan Jepang- Indonesia. Tsuraya Aizura, gadis putih, teduh, manis, dan bersinar.

      Semenjak bergabungnya Tsuraya dalam rombongan kami, aku menjadi terbiasa dengan segala aturan yang tadinya menurutku merepotkan. Bahkan di depan Tsuraya aku berusaha untuk sempurna dan tidak melakukan kesalahan. Semua yang membuat aku tidak nyaman, seketika sirna demi untuk dirinya. Semenjak pertemuan pertama, aku selalu berusaha mencari perhatiannya dan berusaha untuk bisa dekat dengan dirinya.

Singkat cerita, September tiba. Hubunganku dengan Tsuraya semakin dekat. Hingga pada akhir Desember tahun pertama aku menyatakan cinta. Akhirnya kami resmi berstatus sepasang  kekasih. Tak  banyak  hari  kami  lewati  bersama  selain  membahas  soal  musik. Tsuraya sangat menyukai musik, karena baginya musik bisa menghilangkan beban sejenak. Aku suka musik, karena musik mempertemukan aku dengan Tsuraya.

***

        Liburan musim panas dimulai. Aku dan Tsuraya memutuskan untuk pergi berlibur ke Indonesia. Maksud hati ingin memperkenalkan Tsuraya kepada keluargaku dan memperkenalkan aku kepada keluarga Tsuraya di Indonesia. Sesampainya di Indonesia, aku langsung  mengunjungi  kerabat  Tsuraya  di Yogyakarta.  Ah ternyata  Tsuraya  keturunan Yogya-Jepang. Karena terbiasa dengan adat Jepang yang taat aturan, keluarga Tsuraya di Yogyakarta pun menerapkan hal yang sama tetapi dengan aturan yang berlaku di budaya Jawa. Seketika aku terdiam.

       Satu minggu aku lalui tinggal bersama keluarga Tsuraya di Yogyakarta. Banyak pelajaran  mengenai budaya  tata  krama  kehidupan  yang  aku  pelajari  di  sini.  Tentu  ini berbeda  dengan  budaya  aku  ketika di  rumah,  Amerika,  Tokyo,  dan  Kyoto.  Pelajaran mengenai musik juga aku dapatkan dari keluarga ini. Lagi-lagi keluarga Tsuraya membuat aku jatuh cinta padanya sekali lagi.

        Setelah satu minggu berlal, aku dan Tsuraya memutuskan untuk mengunjungi orang tuaku di Jakarta. Leganya, sesampainya di Jakarta orang tuaku dapat menyambut baik Tsuraya. Ini lah saatnya Tsuraya yang disiplin menyesuaikan diri dengan keluargaku yang sedikit kurang peduli pada aturan. Untungnya pula ia bisa memahami kekuargaku dengan baik. Seminggu Tsuraya tinggal bersama keluargaku. Setelahnya ia kembali ke Yogyakarta menemui keluarganya. Ada rasa ingin ikut bersamanya kembali ke Yogyakarta. Namun, Tsuraya melarang dan memintaku untuk tinggal dengan keluargaku lebih lama. Baiklah. Aku tidak bisa bilang tidak pada Tsuraya. Sesekali kami melepas rindu melalui telepon. Sesekali pula kami bertemu dengan saling mengunjungi satu-sama lain secara bergantian. Setiap hari aku hidup, setiap hari pula cinta itu tumbuh. Dibenakku hanya akan ada Tsuraya seterusnya.

        Tiba-tiba  pada  awal  Februari  tahun  ketiga  kami,  Tsuraya  mengatakan  ia  harus kembali ke Jepang lantaran neneknya sakit. Sayang, ketika itu aku sedang ada urusan yang tidak bisa aku lewatkan. Tsuraya pun pergi ke Jepang seorang diri. Aku pun berjanji akan segera menyusul dan menemuinya segera.

        Satu minggu sejak kepergiannya aku belum menerika pesan darinya. Aku mencoba menghubunginya dan menghubungi keluarganya di Yogyakarta. Namun, hasilnya nihil. Aku pun memutuskan kembali ke Jepang sekaligus melanjutkan kuliahku.

       Sesampainya di Jepang aku langsung pergi mengunjungi nenek Tsuraya di kota Kobe. Namun tetangganya mengatakan bahwa mereka telah pindah rumah beberapa hari yang lalu. Pikiranku mulai gelisah, carut-marut dengan segala kemungkinan baik-buruk yang akan terjadi.

Keesokan  harinya  aku  pergi  kuliah  dan  menanyakan  keberadaan  Tsuraya  pada teman-temannya. Namun, katanya Tsuraya belum pernah terlihat di kampus  semenjak kami pergi ke Indonesia tahun lalu. Selain itu, tak ada satu pun dari mereka yang mengetahui kondisi nenek Tsuraya.

***

Dua bulan sudah aku hidup tanpa kabar dari Tsuraya. Hidupku menjadi tidak secerah dulu. Aku lebih sering murung dan pergi ke sekian tempat sendirian mencari Tsuraya. Hingga pada suatu malam aku mendapatkan kertas terselip di depan pintu apartemenku. Aku membuka surat itu. Seketika kuremas dan segera berlari sekencang mungkin. Air mata tidak terasa jatuh di pipi. Aku terus berlari dan tidak memperdulikan sekitar. Saat itu April, dan sakura mulai bermekaran lagi. Tiba-tiba daaaaarr! Benturan keras menyadarkan diriku. Dengan surat di tangan, aku berusaha untuk terus menggenggamnya erat. Mataku kunang. Cairan semakin deras mengalir di mataku. Semua terasa sepi, sesak, dan dingin. Angin bertiup lembut membawa Sakura berguguran di jalanan.

    "Aku  kira,  dia  yang  sangat  aku  cintai tidak  akan  pergi  meninggalkanku.  Jujur aku  tidak menyangka,” ujarku dalam hati sembari menggenggam erat kertas di tangan. Kemudian pandanganku terhenti pada sebuah pohon sakura di sisi jalan.

    “Lihat-lah bunga sakura yang berguguran itu terlihat sedih. Mengapa ia terlihat sepertimu Tsuraya?" Aku tertawa kecil, air mataku perlahan menetes. Napasku   semakin   pengap.   Mataku   semakin   berat.   Sayup   terdengar   suara   Tsuraya memanggil namaku.

    "Siapa itu? Apa itu kau? Tsuraya, angin malam panjang di bawah sinar bulan, rasanya seperti napasmu. Bukankah seharusnya kita berpisah baik-baik? Harusnya kau tunggu aku sebentar. Setidaknya sampai satu bulan terakhir sebelum musim semi. Sehingga aku dapat menebus janji, dan setidaknya hatiku akan baik-baik saja. Karena ada kenangan tentang dirimu yang dapat aku simpan lebih lama." Setelahnya duniaku menjadi gelap dan hening.

Kertas di tanganku perlahan terlepas dari genggaman.  Terbang jauh dan semakin menjauh terbawa angin yang bertiup bersama guguran bunga sakura. Di suatu tepi jalan surat itu berhenti terbang dan memperlihatkan isinya. Di sana tertulis bahwa Tsuraya meninggal Januari lalu karena penyakit jantung yang dideritanya.

Cerpen Lomba PEPSI 2019

UNJ 2019

Komentar