Pesan Pendek dari Sahabat Lama

Pesan Pendek dari Sahabat Lama
Karangan: Resti Hanafiani
                                                                       
Image by <a href="https://pixabay.com/users/lobostudiohamburg-13838/?utm_source=link-attribution&amp;utm_medium=referral&amp;utm_campaign=image&amp;utm_content=3113279">Thomas Ulrich</a> from <a href="https://pixabay.com/?utm_source=link-attribution&amp;utm_medium=referral&amp;utm_campaign=image&amp;utm_content=3113279">Pixabay</a>

Aku telah kehilangan dia mungkin sekitar 30 tahun, sejak kerusuhan di ibu kota itu meletus dan nyawa-nyawa membubung bagai gelembung- gelembung busa sabun: pecah di udara, lalu tiada.

Waktu itu, di tengah kepungan panser yang siap menggilas siapa saja, doaku sangat sederhana: semoga Tuhan belum berkenan memanggilnya. Dia terlalu muda dan berharga untuk binasa, apalagi dengan cara yang mengenaskan. Aku ingin melanjutkan doa yang terlalu singkat itu, namun mendadak senapan-senapan menyalak dan tubuh-tubuh tumbang, menambah jumlah mayat yang terserak-serak.

Jalanan aspal makin menghitam disiram darah. Amis. Aku pun berharap segera turun hujan atau setidaknya gerimis agar jalanan itu sedikit terbasuh dan suasana rusuh itu sedikit luruh.

Ketika kerumunan massa bergerak dan merangsek istana, aku masih melihat dia berdiri di atas tembok, mengibas-ngibaskan bendera sambil berteriak-teriak. Kerumunan orang-orang pun makin merangsek: mencoba menumbangkan pagar besi istana. Entah berapa batalyon menghadangnya. Terjadi aksi saling dorong. Lalu, suara senapan menyalak. Lalu tubuh-tubuh tumbang. Aku pun mencoba mendongakkan kepala di tengah tubuh-tubuh yang rubuh menimbun tubuhku. Aku ingin melihatnya kembali, apakah dia masih berdiri di atas tembok. Namun, dia telah tiada. Perasaanku gusar. Hatiku gemetar.

Tiba-tiba aku melihatnya sudah berada di depan kerumunan. Dengan tatapan yang penuh menyiratkan amarah dan dendam, bendera itu tetap terus dikibarkan sambil berteriak-teriak. Tubuhku gemetar melihat keberaniannya walau ancaman mati jelas terbuka lebar di depan matanya.  Tubuhku kaku, pikiranku kosong dan hanya terpusat pada orang itu. Tak ada lagi suara yang dapat didengar selain suara teriakannya. Namun entah mengapa gejolak dalam diriku untuk menghampirinya terkalahkan oleh gemetar tubuhku. Entah karna kagum dengan keberaniannya atau karena kegilaanya.

Seketika lamunanku terhenti ketika segerobolan orang menabrakku hingga jatuh tersungkur ke tanah. Ketika suara tembakan bersautan barulah aku tersadar kembali. Seorang laki-laki 50 tahunan berteriak menatap dan menggoncangkan tubuhku.

“Kita harus pergi! Di sini berbahaya!” kata laki-laki itu.

            Dari balik tubuh laki-laki itu terlihat kepulan asap mulai membumbung. Teriakan para demonstran kembali memekik. Seketika aku pun teringat kembali sahabatku itu. Aku beranjak dan berlari mencoba untuk menemukannya. Tetapi laki-laki itu menarikku untuk menjauh.

Tiba-tiba kembali suara tembakan itu terdengar. Beberapa orang terdengar meneriakan nama Gardaz. Sontak aku mencari-cari asal teriakan itu.

            Pria pemberani itu terlihat setengah runtuh. Bendera yang dipegangnya dipakai untuk menopang tubuh yang sebetulnya ingin segera rebah. Aku melihat seorang wanita berlari menghampirinya sembari menangis histeris. Aku ingin menolongnya. Namun lagi-lagi laki-laki 50 tahun ini menarikku dengan sangat kuat sembari membawaku menjauh. Dan, sesudah kerusuhan itu reda, beredar kabar lebih seratus demonstran tewas. Tidak sampai seminggu, akhirnya gerakan massa itu berhasil memaksa Presiden Clawuz turun dan rakyat pun bisa bernapas kembali. Tetapi tidak denganku. Aku belum dapat bernapas lega. Belum juga terdengar kabar tentang Gardaz sahabatku semenjak kerusuhan waktu itu. Perihal hidup dan matinya masih abu-abu. Tepat sebulan tak ada kabar tentangnya aku pun mencoba untuk mengenang dan mengikhlaskannya.

***

Ini adalah hari peringatan 30 tahun kerusahan di Ibu Kota. Aku membuka album lama semasa kuliah dulu. Tubuh laki-laki cungkring dengan rambut gondrong dan senyum lebarnya merangkulku di dalam foto itu. Seketika air mataku tak dapat lagi tertahan. Gambaran kerusuhan Ibu Kota semasa itu kembali teringat di kepalaku. Setiap detik dan menit itu tak satu pun terlewatkan dalam ingatan.

“Gardaz.”  Tiba-tiba nama itu keluar lagi dari mulutku setelah sekian tahun.

“Ayah kenapa menangis?” kata anak laki-laki semata wayangku Dante, yang sontak menyadarkanku dari ingatan masa lalu.

“Tidak, Nak. Ayah habis menguap, makannya keluar air mata.”

“Ayah ingin tidur?” katanya manis terdengar.

“Tidak, Nak. Ayah harus pergi ke kantor. Jadi ayah tidak  boleh tidur .”

           Kemudian seorang wanita muncul menghampiri kami dengan membawa jas setelan yang diperuntukan untukku. Wanita itu adalah istriku. Maria namanya. Anak dari laki-laki tua 50 tahunan yang membawaku pergi dari kerusuhan 30 tahun lalu. Dengan diiringi senyum anak dan istriku mobilku pun melesat perlahan menghilang dari pandangan mereka.

Siang itu, setelah rapat di kantor, sekretarisku memberi tahu ada seorang laki-laki yang mencariku. Katanya, laki-laki itu sekarang tertahan di pos keamanan. Aku menyuruh ajudanku untuk melihatnya. Tiga menit kemudian, ajudanku menghadapku dan bilang, laki-laki itu mengaku bernama Gardaz dan mengaku kawan lamaku. Dengan perasaan bahagia, kusuruh ajudanku menjemputnya.

Aku terperanjat. Ya, tamu itu benar-benar Gardaz, kawan lama yang terakhir kulihat di kerusuhan Ibu Kota, 30 tahun lalu. Aku mencoba memeluknya, tapi ia mencegah dengan senyumnya yang kurasakan sangat getir. Ia mundur dua langkah dan memberi isyarat agar aku tidak menyentuhnya. Aku diam mematung, tertegun. Kutatap dia lekat-lekat. Aku masih melihat sorot matanya yang tajam; bola matanya yang dilingkari api. Namun, keindahan dan ketajaman mata itu sangat tidak sebanding dengan tubuhnya yang kurus, hitam, atau dengan wajahnya yang makin tirus dengan tonjolan tulang pipi. Juga, kaus dan celananya yang lusuh. Kuku-kuku jari tangannya panjang dan hitam. Rambut panjangnya hampir seluruhnya memutih. Hatiku terasa menggigil. Perasaanku teraduk-aduk. Aku ingin kembali memeluk. Tapi, ia menolak dengan senyumnya yang lagi-lagi getir.

Aku meminta ajudanku meninggalkan kami. Aku mengajak dia masuk ruang tamu. Namun, ia kembali tersenyum, pahit. Ia memintaku untuk tidak repot. Katanya, pertemuan ini sudah sangat membahagiakan dirinya.

Membahagiakan? Aku membatin. Aku justru menjadi kurang berbahagia karena ia menolak kupeluk, menolak kupersilakan masuk. Padahal, aku sangat ingin merasakan kehangatan persahabatan yang telah 30 tahun terputus. Aku juga ingin tahu keadaan dirinya, ke mana saja dia dan apa pekerjaannya sekarang.

Aku lebih dari sekadar kagum pada dia. Ya, Gardaz, mahasiswa paling cerdas dan paling berani berdemonstrasi melawan tirani. Aku mengenalnya lingkaran diskusi kampus: aku kuliah di fakultas ilmu sosial politik, dia kuliah di filsafat. Diskusi kami selalu mendidih, mencoba menyingkirkan banyak sepatu lars yang berderap-derap di kepala dan rongga dada. Namun, mengenyahkan sepatu lars itu tidak gampang; berulang kali beberapa teman kami digelandang dijebloskan ke sel tahanan. Tentu termasuk Gardaz.

Sebenarnya Gardaz tidak perlu ditangkap dan ditahan petugas waktu itu karena hari itu ia tengah sakit dan tidak terlibat diskusi. Namun, ketika ia mendengar kabar bahwa aku ditangkap dan ditahan, ia mendatangi komandan daerah militer di kota Margaz. Dia minta aku dibebaskan, dengan jaminan dirinya. Ia mengaku sebagai penanggung jawab diskusi.

Pengorbanan Gardaz sangat sulit kulupakan. Sampai sekarang. Juga pengorbanan lainnya: ketika aku sakit ia merelakan uang kuliahnya untuk menebusku dari rumah sakit, ketika aku terlambat menerima kiriman uang dari desa, dia menanggung hidupku untuk beberapa minggu dan jasa baik lainnya. Ia selalu meminta aku untuk melupakan jasa baiknya, setiap aku ingin membalasnya atau menyahur utang-utangku.

Semula aku menyangka orang tua Gardaz kaya. Namun, ternyata ia anak orang biasa seperti aku: anak petani. Dari mana dia mendapat uang? Ternyata dia bekerja sambil kuliah. Dia bekerja di pabrik kecap pada malam hari.

Diam-diam di pabrik kecap itu dia membentuk organisasi pekerja dan sering melakukan banyak kegiatan. Para pekerja itu dididiknya untuk memiliki kesadaran hak. Gerakan ini dicium pemilik pabrik. Akhirnya, bersama beberapa temannya dia dipecat.

”Sejak kerusuhan itu meletus, kamu ke mana?” tanyaku.

Gardaz tersenyum, pahit. ”Aku pulang ke desa. Tapi ternyata aku tidak berbakat jadi petani ….”

“Bukankah waktu itu kamu tertembak? Aku melihatnya, tetapi maaf aku tidak dapat menolongmu.”

“Kenapa kamu tidak menghampiriku? Kamu takut dengan peluru-peluru itu?” katanya diiringi tawa nyinyir.

“Tidak. Bukan seperti itu Gardaz. Ada laki-laki yang menahanku untuk mendekat, dia menarik dan membawaku pergi dari tempat kejadian itu. Maaf aku tidak bisa melawannya.”

“Ya, untuk apa melawan laki-laki tua bukan? Lagi pula dia itu ayah mertuamu.”

Akupun terkejut mendengar perkataannya. Baru ini pertama kami kembali bertemu, tetapi dia sudah mengetahui perihal diriku. Tetapi niatku untuk bertanya padanya aku urungkan. Aku takut pertemuan ini malah akan membuatnya hilang lagi.

“Kenapa kamu terkejut, Hector? Tidak ada rakyat yang tidak tahu siapa Gubernurnya bukan?” katanya sembari tertawa.

“Ya, seharusnya aku tahu itu. Lalu sekarang apa yang kamu lakukan?”  tanyaku mencoba  mengalihkan  pembicaraan.

”Ya, tetap konsisten jadi … gelandangan.”

Kami tertawa. Terlihat gigi-gigi yang hitam dibakar asap rokok.

”Aku senang kamu menjadi Gubernur di Margaz, kota yang sangat kita cintai. Tidak sia-sia kamu jadi kader partai…,” ujarnya.

Aku kurang senang dengan ucapannya itu. Teman-temanku yang lain sering mengejekku dengan menyebutku ”Baginda Gubernur”. Mereka menganggapku sebagai pejuang yang menyerah kepada kekuasaan yang dulu sama-sama kami lawan. Tapi, aku tidak merasa bersalah dengan pilihanku walaupun sebenarnya ini bukan benar-benar pilihanku. Ayah Maria, mertuaku yang membawaku ke dalam dunia kekuasaan ini. Ayah Maria saat kerusuhan 30  tahun lalu adalah seorang politikus. Namun dia adalah politikus yang memihak rakyat. Maka di situlah dia dapat bertemu denganku dan ikut meneriakkan ketidakadilan yang terjadi saat itu. Sepeninggalnya 15 tahun lalu, ayah Maria memintaku untuk meneruskan perjuangannya melalui politik  dan jadilah aku seperti sekarang ini.

Beberapa menit tak ada satu pun kata terucap di antara aku dan Gardaz. Melihat aku terdiam, Gardaz kembali bicara.

Swear, aku senang kamu bisa jadi Gubernur, jabatan yang sangat terhormat.”

Semoga dia tulus, aku membatin. ”Terima kasih. Eee … maaf mungkin aku bisa membantumu, Bung …?”

Thanks. Aku tidak membutuhkan pertolongan atau pekerjaan. Aku hanya membutuhkan hatimu …. Hatimu,” ujarnya lirih, tapi kurasakan sangat perih.

Aku menatapnya. Aku ingin mengucapkan banyak kalimat, tapi lidahku terasa tercekat.

”Kamu tahu yang kuinginkan? Oke, selamat siang.”

Dia melangkah pelan, keluar ruangan. Tubuhku terasa aneh, sulit kugerakkan untuk mencegahnya. Apa yang salah dengan hatiku? Pikirku.

Kehadiran Gardaz dengan cepat menguap dari kepalaku, ketika banyak urusan dinas mengepungku dan menekanku. Aku tersekap dalam urusan pembangunan mal, apartemen-apartemen mewah, jembatan, rumah sakit kelas internasional, dan proyek lainnya. Aku tersekap dalam angka-angka yang berderet-deret sepanjang bentangan keinginan. Aku terkapar di dalamnya

Di sela-sela kesibukanku, tiba-tiba ucapan Gardaz kembali terngiang. Dadaku sesak tatkala mengingat ucapannya bahwa dia hanya membutuhkan hatiku. Apa yang salah? Napasku mulai tersendat, dadaku terasa semakin sakit. Di saat aku mencoba mengatur napasku wajah dan suara Gardaz kembali muncul di kepalaku dan akhirnya semuanya menjadi gelap.

***

Aku terbangun dari timbunan angka-angka. Ku edarkan pandangan mataku. Aku sedikit kaget melihat ruangan serba putih, melihat selang-selang infus, melihat orang-orang berpakaian serba putih.

Dante dan istriku, Maria memelukku. Mereka ku larang untuk menangis. Maria bilang, aku terkena serangan jantung koroner, tetapi tidak terlalu serius dan sudah teratasi. Dokter pun telah mengizinkan aku pulang.

Maria mencegahku. Dia memintaku untuk bertahan di rumah sakit sehari atau dua hari lagi atau kami tinggal di hotel beberapa hari.

”Kenapa?”

Maria tersenyum, ”Ya, supaya ayah makin sehat saja atau bisa lebih tenang … .”

Akhirnya kami tidur di hotel paling mewah di kota Margaz. Orang-orang kantor mengunjungiku untuk meminta tanda tangan atau membicarakan urusan lainnya. Ketika kurasakan keadaanku membaik, aku minta segera pulang ke rumah. Aku sudah sangat rindu mencium bau bantal atau memakai sandal rumah yang nyaman. Maria mencegahku. Aku memaksa, tapi ia tetap memintaku tinggal di hotel.

”Sudah seminggu ini rumah kita didatangi orang-orang tak dikenal. Pakaian mereka lusuh. Ucapan-ucapan mereka sangat kasar. Katanya, mereka korban penggusuran pembangunan mal di daerah Kraz,” ujar Maria sambil menggenggam tanganku.

Mendadak handphone mengisyaratkan ada pesan pendek yang masuk. Langsung kubuka. ”Aku hanya butuh hatimu, kawan.” Begitu pesannya.

Napas dalam-dalam kuhela. Jelas itu pesan pendek dari Gradaz. Tapi dari mana Gardaz tahu tahu nomor handphone-ku?

”Benar. Aku Gardaz. Aku tahu nomor HP-mu dari seorang perempuan, katanya sih pacarmu … .”

“Pacarku yang mana? Gristha? Gretha? Sylha? Deerva? Atau Dumma?”

Muncul lagi kiriman pesan, ”Salah satu dari mereka”.

Bagaimana Gardaz bisa mengenalnya?

”Gadis itu kukenal saat aku mengunjungi Ibunya yang rumahnya kamu gusur untuk Mall, Bung”.

Huruf-huruf di dada handphone itu terasa berdesak-desak di benak. Kepalaku terasa berputar-putar.

”Ayah baik-baik saja?” Maria menyeka keringat di keningku.

Aku mengangguk. Beberapa menit kemudian datang pesan pendek dari Gardaz.

”Aku hanya butuh hatimu. Aku percaya, kamu tetap orang baik … .”

Kalimat itu terasa meremas jantungku. Aku ingin menjawabnya: diriku sangat tidak layak menjadi teman Gardaz yang mampu bertahan untuk tetap bersih berkilau seperti orang- orang suci atau nabi.

”Kamu ingat diskusi kita tiga puluh tahun lalu, tentang kelas menengah yang selalu berkhianat, kawan?”

Jantungku berdebar membaca pesan itu. Tanganku gemetar. Kepalaku terasa berputar-putar. Tubuhku seperti melayang dan akhirnya tumbang. Maria menjerit, dokter kemudian datang. Tabung oksigen disalurkan di hidungku. Tubuhku sangat lemas, tetapi sesak dadaku sudah sangat berkurang.

Beberapa minggu kemudian aku akhirnya pulih dan diperbolehkan untuk pulang. Aku meminta Maria untuk mengambilkan handphone untuk sekadar mengecek apakah Gardaz masih mengirimi pesan. Saat ku lihat ternyata tidak ada pesan masuk darinya. Aku bertanya pada Maria apakah selama ini ada orang yang mengirimi pesan aneh. Maria tersenyum menjawab tidak ada, dan mengatakan bahwa di rumah juga sudah aman, tidak ada lagi orang asing yang datang sembari memaki. Aku pun merasa lega mendengarnya. Aku, Maria dan Dante segera bergegas pulang ke rumah kami.

***

            Dua bulan sudah berlalu semenjak aku keluar dari rumah sakit kala itu. Pembangunan mall juga sudah hampir 60% selesai. Kabar mengenai Gardaz belum juga aku terima. Namun, kali ini bukan berarti baku juga mengharapkan kabar darinya setelah ucapannya tempo  lalu. Hari-hari di rumah dan di kantor akhirnya terasa normal kembali seperti saat sebelum Gardaz muncul.

            Sore ini aku mendapat undangan dari Gubernur kota Glarus. Aku memutuskan untuk berangkat sendiri dari kota Margaz ke Glarus. Tiba di Glarus, Olipe, Gubernur Glarus itu menyambutku dengan hangat. Lama kami berbincang sampai tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 21.00 dan aku pun memutuskan untuk pamit. Olipe menahanku dan menyuruhku untuk kembali ke Margaz esok pagi saja. Namun, aku menolak ketika aku teringat janji dengan anakku untuk mengajaknya pergi esok pagi di akhir pekan. Akhirnya Olipe pun luluh dan menawarkan supirnya untuk mengantarku. Kalau aku menolak, dia mengancam akan mengebom Margaz. Aku dan Olipe seketika tertawa.  Aku pulang ke Margaz dengan supir Olipe.

            Sepanjang jalan kendaraan tidak banyak terlihat lalu lalang. Hanya sekitar satu sampai tiga mobil saja yang mendahului mobil kami setiap 15 menit. Tidak biasanya pula malam ini terasa begitu dingin. Tiba-tiba aku teringat Dante dan Maria. Aku pun membuka handphone-ku dan mencoba untuk memberi pesan singkat pada Maria kalau aku sedang dalam perjalanan pulang. Ternyata saat itu Maria belum tidur. Dia membalas pesan singkatku dengan cepat. Lalu  aku pun teringat akan Dante. Ku tanyakan perihal Dante pada Maria. Tiba-tiba panggilan video dari Maria masuk. Segera aku pun langsung mengangkatnya.

“Ayah ... Dante rindu ayah. Ayah, pukul berapa sampai di rumah?” tanyanya dengan lagak polos anak seusianya. Saat ini, Dante baru berumur 6 tahun. Anak mahal kata kebanyakan orang. Mungkin karena aku dan Maria baru dikaruniai anak setelah 10 tahun menikah.

“Ini Ayah sedang di perjalanan, Dante. Sebentar lagi Ayah sampaiya.”

“Ya, Ayah, Dante rindu. Ingin peluk, Ayah,” katanya sembari ku lihat air matanya mengembun.

Tidak biasanya Dante jadi serewel ini. Biasanya saat aku pergi berhari-hari pun dia tidak akan berkata rindu padaku. Embusan angin dingin malam yang menerobos lewat sela-sela kaca mobil membuatku semakin ingin cepat pulang. Entahlah, malam  ini terasa asing bagiku.

Tiba-tiba supir Olipe meminta  izin untuk menepi sebentar lantaran ingin buang hajat. Wajahnya sudah pucat karena sengaja ditahan semenjak ingin berangkat menuju Margaz. Katanya sungkan izin pada Bapak Olipe kalau ia ingin  izin ke belakang dahulu. Tidak tega dengan wajahnya yang sudah di ujung, akhirnya mobil kami pun menepi.

Aku memutuskan untuk menunggu di mobil, sedangkan supir itu aku suruh untuk pergi agak jauh ke semak-semak supaya baunya tak sampaiku hirup. Sekang semuanya benar-benar terasa sepi. Lagi-lagi, mobil malam itu tidak banyak yang melintas. Lampu jalan yang ada pun tidak terlalu terang. Suara hewan malam semakin jelas terdengar.

Angin kembali berembus. Kali ini lebih kencang rasanya. Panggilan video sudah berakhir semenjak supir itu izin buang hajat. Sepi semakin terasa menusuk jas yang sedari pagi  ini belum diganti.

            Dari kejauhan aku melihat sesosok pria jalan menuju ke arah  mobil.  Ah, pasti itu si supir. Semakin dekat lalu akhirnya semakin dekat dan terlihat bahwa  tubuhnya tak segemuk supir tadi. Ah, mungkin demit yang ingin iseng. Aku pun akhirnya berusaha untuk memejamkan mata.

Tok-tok-tok

Pintu kaca mobil ada yang mengetuk. Namun, aku memutuskan untuk tidak menghiraukannya.

Tok-tok-tok

            Ketukan itu terdengar semakin kencang.

“Hector, tolong buka  pintunya.”

            Tiba-tiba aku terperanjat. Aku mengenal betul suara itu. Ya, tidak salah lagi itu pasti dia.

“Gardaz?” kataku pelan sembari menengok ke kaca mobil.

Senyumnya  menyeringai di balik kaca mobil itu. Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Ku  tatap benar-benar laki-laki kurus itu.

Tok-tok-tok “Hector, buka pintu mobilmu!” perintahnya sekali lagi sambil tersenyum.

            Aku pun tersadar kemudian membuka pintu dan keluar. Jadi lah aku sekarang berhadap-hadapan dengannya.

“Kenapa kamu bisa sampai di sini?”

“Kau itu seperti tidak tahu aku saja. Dulu aku ini aktivis. Di mana ada kerusuhan, di  mana ada ketidakadilan yang menyengsarakan aku akan ada di tempat itu.”

            Lagi-lagi kata-kata itu membuat dadaku sakit. Kata-kata yang sepertinya ditujukan kepadaku. Apa yang salah?

“Ya, aku tahu. Tapi bagaimana kamu bisa sampai di sini, dan menemuiku seperti ini?” tanyaku penasaran.

“Entahlah. Darah mudaku  masih mengalir sepertinya. Semangat juang menempuh jalan menjemput keadilan masih tertanam subur dalam diriku nampaknya.” ucapnya bangga sambil melihat gelapnya langit malam.

“Ya, kamu belum berubah.”

Belum sedetik aku selesai berbicara, Gardaz berteriak, “Lalu kenapa kamu berubah, Hector?!”

“Apa yang berubah dariku?” Aku mulai sedikit terbawa emosi.

“Kau berubah menjadi penguasa sampah seperti yang sering kita diskusikan semasa kuliah dulu!” tatapannya tajam ke arahku, “kamu ingat diskusi kita tiga puluh tahun lalu, tentang kelas menengah yang selalu berkhianat, kawan”  katanya mulai menurunkan nada bicaranya.

Aku ingat kalimat itu. Kalimat yang pernah Gardaz kirim dalam pesan singkat.

“Ya, aku ingat.”

“Kamu lah penghianat itu sekarang, Hector.” Senyumnya sinis.

“Tidak. Aku tidak seperti mereka!”

“Ya, sekarang kamu tidak lebih dari sekadar penghianat dan penguasa sampah, Hector.”

“Tidak. Aku tidak seperti mereka.”

“Ya ‘Baginda Gubernur’ dasar penghianat.”

“Apa yang kamu  mau sebenarnya, Gardaz?” aku mulai naik pitam.

“Bukankah sudah kukata kan tempo lalu? Aku hanya ingin hatimu ... hatimu ... hati nuranimu ...”

“Karena masalah pergusuran itu?” tanyaku sinis.

“Mengapa kamu tidak memihak kami dan mendengarkan aku? Mengapa kamu menjadi seperti mereka yang dulu habis-habisan ingin kita lawan?”

“Aku tidak seperti mereka, Gardaz. Berapa kali harus ku katakan. Aku tidak seperti mereka!”

“Apa bedanya kamu dengan mereka, Hector?”

“Kamu hanya tahu di luarnya saja. Kamu tidak tahu perjuanganku membela mereka kaum tergusur. Mereka tidak aku biarkan seperti  yang lain. Gardaz. Kamu tidak lihat setiap bulan mereka aku beri santunan yang jumlahnya lebih dari cukup? Kamu tidak lihat mereka aku beri jaminan atas rumah mereka yang aku gusur? Aku tidak seperti mereka, Gardaz. Aku tetap akan memperjuangkan apa yang sudah aku janjikan semenjak aku bergabung dengan aktivis dan bertemu denganmu, Gardaz!”

“Hahahaa. Berarti kau juga masih ingat dengan janjiku bahwa aku akan membasmi mereka yang menyengsarakan rakyat?”

“Ya, bahkan kamu tidak segan-segan menekan pelatukmu untuk mereka jika tuntutan keadilan rakyat tidak terpenuhi.”

“Hahahaa. Ya, kau benar. Kalau saja aku tidak tertembak, Clawuz sampah itu sudah mati ditanganku. Namun, aku dengar akhirnya dia mengundurkan diri. Sayang sekali, sebetulnya aku sudah gatal. Setiap hari aku mendengar tangis ketidakadilan. Bukan hanya luka tembakku saja yang sakit, kupingku juga terasa sakit.”

“Ya, tidak sampai seminggu Clawuz turun tahta.”

“Kau sekarang benar-benar menjadi bagian dari mereka.”

“Tidak. Aku tidak seperti mereka! Kau harus percaya padaku. Kau sahabatku kau kawanku, Gardaz! Siapa yang telah meracunimu?”

“Kau tau Marta? Aku bertemu dengannya sebelum berjumpa dengan kau, Hector. Dia juga politikus sama seperti kau. Tapi dia tidak busuk sepertimu yang tega merampas hak rakyat demi menguntungkan dirimu sendiri!”

“Jadi karna Marta? Marta teman kita, lawan politikku semasa pemilihan lalu?  Kau tahu, dia tidak pernah menyukaiku semenjak kuliah dulu. Kau tahu sendiri dia selalu mencari masalah denganku dan berbicara yang bukan-bukan tentang aku, Gardaz. Apa kau lupa itu? Kau lupa cara melihat kebenaran dan kepalsuan?”

Cukup! Diam kau, Hector! Jangan sok menasihatiku. Aku hanya melihat dan mendengar apa yang sesuai dengan apa yang kulihat dan kudengar dengan mata kepalaku sendiri! Kenapa kamu tidak mendengarkan aku, Hector. Kamu ingin aku  menarik pelatuk untukmu?” tiba-tiba dia menodongkan pistol ke arahku.

Sontak aku terkejut,  “Gardaz, apa yang kamu lakukan!”

“Kamu tidak mendengarkanku, kamu tidak mendengarkan penderitaan rakyatmu! Kamu tidak mendengarkan pesan pendekku, Hector? Aku memberimu waktu dua bulan karena kamu sahabatku. Nyatanya, kamu tidak ada mendengarkan aku”

“Tidak, kamu salah mengerti tentang aku. Aku tidak seperti mereka!”

“Ya, ya ... kamu seperti mereka atau tidak yang aku tahu keadilan harus tegak. Pembuat penderitaan itu harus tenggelam agar adil dapat terwujud! Maaf Hector, ini karena kamu tidak mendengarkan pesan pendekku”

Aku dan Gardaz sontak berkelahi. Tidak ada kendaraan yang lewat saat itu. Aneh, sial! Supir itu pun tak juga kunjung kembali. Akan kah ini malam terakhirku?

Tiba-tiba suara tembakan pecah. Aku merasa sesak. Seperti ada yang menusuk masuk ke dalam tubuhku. Gardaz menjauh dariku. Noda bercak darah segar terlihat di  kemeja putihku. Tiba-tiba Gardaz tumbang ke tanah. Tangannya memegang perut yang bersimbak darah. Aku meraba-raba tubuhku mencari luka tembak. Namun di sebrang sana justru Gardaz merintih kesakitan karena pelurunya sendiri. Peluru  yang membunuhku ternyata membunuh dirinya sendiri. Dadaku mulai terasa sesak lagi.  Napasku tersendat. Semuanya berubah  menjadi gelap.

***

Ketika aku membuka mata aku sudah berada di ruangan serba putih. Mungkin kah aku  sudah di surga? Akan tetapi, sayup-sayup aku mendengar suara Dante dan Maria. Kesadaranku mulai bertambah. Ku tatap Maria dan Dante menangis di samping ranjangku. Orang-orang berbaju putih dan  bermasker datang menanganiku.

Beberapa jam kemudian aku  sudah cukup benar-benar sadar. Aku  dapat mengenal orang-orang di sekelilingku dan berbicara dengan mereka. Akhirnya aku bertanya apa yang sebenarnya terjadi kepada Maria. Maria akhirnya menceritakan semuanya. Tentang perkelahianku  dengan Gardaz, dan tewasnya Gardaz oleh pelurunya sendiri. Supir Olipe yang membawaku ke rumah sakit. Dia menyaksikan semua percakapanku dengan Gardaz malam itu. Sayangnya dia tidak berani menghampiri. Saat Gardaz dan aku rebah, barulah dia datang.

Setelah mendengar cerita Maria, kembali wajah Gardaz terlintas di kepalaku. Aku merasa kehilangan seorang kawan dan  sahabat yang sangat kukagumi. Namun, aku tak pernah berharap dia kembali lagi. Aku tak mungkin bisa berkawan dengan orang suci atau manusia yang sangat berbakat jadi nabi.

Rekayasa Teks Cerpen Karangan Indra Tranggono Dengan Judul Yang Sama

UNJ 2018



Komentar