Aku telah kehilangan dia mungkin sekitar 30 tahun, sejak kerusuhan di ibu kota itu meletus dan nyawa-nyawa membubung bagai gelembung- gelembung busa
sabun: pecah di udara, lalu tiada.
Waktu itu, di tengah kepungan panser yang siap
menggilas siapa saja, doaku sangat sederhana: semoga Tuhan belum berkenan
memanggilnya. Dia terlalu muda dan berharga untuk binasa, apalagi dengan cara
yang mengenaskan. Aku ingin melanjutkan doa yang terlalu singkat itu, namun
mendadak senapan-senapan menyalak dan tubuh-tubuh tumbang, menambah jumlah
mayat yang terserak-serak.
Jalanan aspal makin menghitam disiram darah.
Amis. Aku pun berharap segera turun hujan atau setidaknya gerimis agar jalanan
itu sedikit terbasuh dan suasana rusuh itu sedikit luruh.
Ketika kerumunan massa bergerak dan merangsek
istana, aku masih melihat dia berdiri di atas tembok, mengibas-ngibaskan
bendera sambil berteriak-teriak. Kerumunan orang-orang pun makin merangsek:
mencoba menumbangkan pagar besi istana. Entah berapa batalyon menghadangnya.
Terjadi aksi saling dorong. Lalu, suara senapan menyalak. Lalu tubuh-tubuh
tumbang. Aku pun mencoba mendongakkan kepala di tengah tubuh-tubuh yang rubuh
menimbun tubuhku. Aku ingin melihatnya kembali, apakah dia masih berdiri di
atas tembok. Namun, dia telah tiada. Perasaanku gusar. Hatiku gemetar.
Tiba-tiba aku melihatnya sudah berada di depan
kerumunan. Dengan tatapan yang penuh menyiratkan amarah dan dendam, bendera itu
tetap terus dikibarkan sambil berteriak-teriak. Tubuhku gemetar melihat
keberaniannya walau ancaman mati jelas terbuka lebar di depan matanya. Tubuhku kaku, pikiranku kosong dan hanya
terpusat pada orang itu. Tak ada lagi suara yang dapat didengar selain suara
teriakannya. Namun entah mengapa gejolak dalam diriku untuk menghampirinya
terkalahkan oleh gemetar tubuhku. Entah karna kagum dengan keberaniannya atau
karena kegilaanya.
Seketika lamunanku terhenti ketika segerobolan
orang menabrakku hingga jatuh tersungkur ke tanah. Ketika suara tembakan
bersautan barulah aku tersadar kembali. Seorang laki-laki 50 tahunan berteriak
menatap dan menggoncangkan tubuhku.
“Kita harus pergi! Di sini berbahaya!” kata laki-laki itu.
Dari balik tubuh
laki-laki itu terlihat kepulan asap mulai membumbung. Teriakan para demonstran
kembali memekik. Seketika aku pun teringat kembali sahabatku itu. Aku beranjak
dan berlari mencoba untuk menemukannya. Tetapi laki-laki itu menarikku untuk
menjauh.
Tiba-tiba kembali suara tembakan itu terdengar.
Beberapa orang terdengar meneriakan nama Gardaz. Sontak aku mencari-cari asal
teriakan itu.
Pria pemberani itu
terlihat setengah runtuh. Bendera yang dipegangnya dipakai untuk menopang tubuh
yang sebetulnya ingin segera rebah. Aku melihat seorang wanita berlari
menghampirinya sembari menangis histeris. Aku ingin menolongnya. Namun
lagi-lagi laki-laki 50 tahun ini menarikku dengan sangat kuat sembari membawaku
menjauh. Dan, sesudah kerusuhan itu reda, beredar kabar lebih seratus
demonstran tewas. Tidak sampai seminggu, akhirnya gerakan massa itu berhasil
memaksa Presiden Clawuz turun dan rakyat pun bisa bernapas kembali. Tetapi
tidak denganku. Aku belum dapat bernapas lega. Belum juga terdengar kabar
tentang Gardaz sahabatku semenjak kerusuhan waktu itu. Perihal hidup dan
matinya masih abu-abu. Tepat sebulan tak ada kabar tentangnya aku pun mencoba
untuk mengenang dan mengikhlaskannya.
***
Ini adalah hari peringatan 30 tahun kerusahan
di Ibu Kota. Aku membuka album lama semasa kuliah dulu. Tubuh laki-laki
cungkring dengan rambut gondrong dan senyum lebarnya merangkulku di dalam foto
itu. Seketika air mataku tak dapat lagi tertahan. Gambaran kerusuhan Ibu Kota
semasa itu kembali teringat di kepalaku. Setiap detik dan menit itu tak satu
pun terlewatkan dalam ingatan.
“Gardaz.” Tiba-tiba nama itu
keluar lagi dari mulutku setelah sekian tahun.
“Ayah kenapa menangis?” kata anak laki-laki semata wayangku Dante,
yang sontak menyadarkanku dari ingatan masa lalu.
“Tidak, Nak. Ayah habis menguap, makannya keluar air mata.”
“Ayah ingin tidur?” katanya manis terdengar.
“Tidak, Nak. Ayah harus pergi ke kantor. Jadi ayah tidak boleh tidur .”
Kemudian seorang
wanita muncul menghampiri kami dengan membawa jas setelan yang diperuntukan
untukku. Wanita itu adalah istriku. Maria namanya. Anak dari laki-laki tua 50
tahunan yang membawaku pergi dari kerusuhan 30 tahun lalu. Dengan diiringi
senyum anak dan istriku mobilku pun melesat perlahan menghilang dari pandangan
mereka.
Siang itu, setelah rapat di kantor,
sekretarisku memberi tahu ada seorang laki-laki yang mencariku. Katanya,
laki-laki itu sekarang tertahan di pos keamanan. Aku menyuruh ajudanku untuk
melihatnya. Tiga menit kemudian, ajudanku menghadapku dan bilang, laki-laki itu
mengaku bernama Gardaz dan mengaku kawan lamaku. Dengan perasaan bahagia,
kusuruh ajudanku menjemputnya.
Aku terperanjat. Ya, tamu itu benar-benar
Gardaz, kawan lama yang terakhir kulihat di kerusuhan Ibu Kota, 30 tahun lalu.
Aku mencoba memeluknya, tapi ia mencegah dengan senyumnya yang kurasakan sangat
getir. Ia mundur dua langkah dan memberi isyarat agar aku tidak menyentuhnya.
Aku diam mematung, tertegun. Kutatap dia lekat-lekat. Aku masih melihat sorot
matanya yang tajam; bola matanya yang dilingkari api. Namun, keindahan dan
ketajaman mata itu sangat tidak sebanding dengan tubuhnya yang kurus, hitam,
atau dengan wajahnya yang makin tirus dengan tonjolan tulang pipi. Juga, kaus
dan celananya yang lusuh. Kuku-kuku jari tangannya panjang dan hitam. Rambut
panjangnya hampir seluruhnya memutih. Hatiku terasa menggigil. Perasaanku
teraduk-aduk. Aku ingin kembali memeluk. Tapi, ia menolak dengan senyumnya yang
lagi-lagi getir.
Aku meminta ajudanku meninggalkan kami. Aku
mengajak dia masuk ruang tamu. Namun, ia kembali tersenyum, pahit. Ia memintaku
untuk tidak repot. Katanya, pertemuan ini sudah sangat membahagiakan dirinya.
Membahagiakan? Aku membatin. Aku justru menjadi
kurang berbahagia karena ia menolak kupeluk, menolak kupersilakan masuk.
Padahal, aku sangat ingin merasakan kehangatan persahabatan yang telah 30 tahun
terputus. Aku juga ingin tahu keadaan dirinya, ke mana saja dia dan apa
pekerjaannya sekarang.
Aku lebih dari sekadar kagum pada dia. Ya,
Gardaz, mahasiswa paling cerdas dan paling berani berdemonstrasi melawan tirani.
Aku mengenalnya lingkaran diskusi kampus: aku kuliah di fakultas ilmu sosial
politik, dia kuliah di filsafat. Diskusi kami selalu mendidih, mencoba
menyingkirkan banyak sepatu lars yang berderap-derap di kepala dan rongga dada.
Namun, mengenyahkan sepatu lars itu tidak gampang; berulang kali beberapa teman
kami digelandang dijebloskan ke sel tahanan. Tentu termasuk Gardaz.
Sebenarnya Gardaz tidak perlu ditangkap dan
ditahan petugas waktu itu karena hari itu ia tengah sakit dan tidak terlibat
diskusi. Namun, ketika ia mendengar kabar bahwa aku ditangkap dan ditahan, ia
mendatangi komandan daerah militer di kota Margaz. Dia minta aku dibebaskan,
dengan jaminan dirinya. Ia mengaku sebagai penanggung jawab diskusi.
Pengorbanan Gardaz sangat sulit kulupakan. Sampai
sekarang. Juga pengorbanan lainnya: ketika aku sakit ia merelakan uang
kuliahnya untuk menebusku dari rumah sakit, ketika aku terlambat menerima
kiriman uang dari desa, dia menanggung hidupku untuk beberapa minggu dan jasa
baik lainnya. Ia selalu meminta aku untuk melupakan jasa baiknya, setiap aku
ingin membalasnya atau menyahur utang-utangku.
Semula aku menyangka orang tua Gardaz kaya.
Namun, ternyata ia anak orang biasa seperti aku: anak petani. Dari mana dia
mendapat uang? Ternyata dia bekerja sambil kuliah. Dia bekerja di pabrik kecap
pada malam hari.
Diam-diam di pabrik kecap itu dia membentuk
organisasi pekerja dan sering melakukan banyak kegiatan. Para pekerja itu
dididiknya untuk memiliki kesadaran hak. Gerakan ini dicium pemilik pabrik.
Akhirnya, bersama beberapa temannya dia dipecat.
”Sejak kerusuhan itu meletus, kamu ke mana?” tanyaku.
Gardaz tersenyum, pahit. ”Aku pulang ke desa. Tapi ternyata aku
tidak berbakat jadi petani ….”
“Bukankah waktu itu kamu tertembak? Aku melihatnya, tetapi maaf aku
tidak dapat menolongmu.”
“Kenapa kamu tidak menghampiriku? Kamu takut dengan peluru-peluru
itu?” katanya diiringi tawa nyinyir.
“Tidak. Bukan seperti itu Gardaz. Ada laki-laki yang menahanku
untuk mendekat, dia menarik dan membawaku pergi dari tempat kejadian itu. Maaf
aku tidak bisa melawannya.”
“Ya, untuk apa melawan laki-laki tua bukan? Lagi pula dia itu ayah
mertuamu.”
Akupun terkejut mendengar perkataannya. Baru
ini pertama kami kembali bertemu, tetapi dia sudah mengetahui perihal diriku.
Tetapi niatku untuk bertanya padanya aku urungkan. Aku takut pertemuan ini
malah akan membuatnya hilang lagi.
“Kenapa kamu terkejut, Hector? Tidak ada
rakyat yang tidak tahu siapa Gubernurnya bukan?” katanya sembari tertawa.
“Ya, seharusnya aku tahu itu. Lalu sekarang apa yang kamu
lakukan?” tanyaku mencoba mengalihkan
pembicaraan.
”Ya, tetap konsisten jadi … gelandangan.”
Kami tertawa. Terlihat gigi-gigi yang hitam dibakar asap rokok.
”Aku senang kamu menjadi Gubernur di Margaz, kota yang sangat kita
cintai. Tidak sia-sia kamu jadi kader partai…,” ujarnya.
Aku kurang senang dengan ucapannya itu.
Teman-temanku yang lain sering mengejekku dengan menyebutku ”Baginda Gubernur”.
Mereka menganggapku sebagai pejuang yang menyerah kepada kekuasaan yang dulu
sama-sama kami lawan. Tapi, aku tidak merasa bersalah dengan pilihanku walaupun
sebenarnya ini bukan benar-benar pilihanku. Ayah Maria, mertuaku yang membawaku
ke dalam dunia kekuasaan ini. Ayah Maria saat kerusuhan 30 tahun lalu adalah seorang politikus. Namun
dia adalah politikus yang memihak rakyat. Maka di situlah dia dapat bertemu
denganku dan ikut meneriakkan ketidakadilan yang terjadi saat itu.
Sepeninggalnya 15 tahun lalu, ayah Maria memintaku untuk meneruskan
perjuangannya melalui politik dan
jadilah aku seperti sekarang ini.
Beberapa menit tak ada satu pun kata terucap di
antara aku dan Gardaz. Melihat aku terdiam, Gardaz kembali bicara.
”Swear, aku senang kamu bisa jadi Gubernur, jabatan yang
sangat terhormat.”
Semoga dia tulus, aku membatin. ”Terima kasih. Eee … maaf mungkin
aku bisa membantumu, Bung …?”
”Thanks. Aku tidak membutuhkan pertolongan atau pekerjaan.
Aku hanya membutuhkan hatimu …. Hatimu,” ujarnya lirih, tapi kurasakan sangat
perih.
Aku menatapnya. Aku ingin mengucapkan banyak kalimat, tapi lidahku terasa
tercekat.
”Kamu tahu yang kuinginkan? Oke, selamat siang.”
Dia melangkah pelan, keluar ruangan. Tubuhku
terasa aneh, sulit kugerakkan untuk mencegahnya. Apa yang salah dengan hatiku?
Pikirku.
Kehadiran Gardaz dengan cepat menguap dari
kepalaku, ketika banyak urusan dinas mengepungku dan menekanku. Aku tersekap
dalam urusan pembangunan mal, apartemen-apartemen mewah, jembatan, rumah sakit
kelas internasional, dan proyek lainnya. Aku tersekap dalam angka-angka yang
berderet-deret sepanjang bentangan keinginan. Aku terkapar di dalamnya
Di sela-sela kesibukanku, tiba-tiba ucapan
Gardaz kembali terngiang. Dadaku sesak tatkala mengingat ucapannya bahwa dia
hanya membutuhkan hatiku. Apa yang salah? Napasku mulai tersendat, dadaku
terasa semakin sakit. Di saat aku mencoba mengatur napasku wajah dan suara
Gardaz kembali muncul di kepalaku dan akhirnya semuanya menjadi gelap.
***
Aku terbangun dari timbunan angka-angka.
Ku edarkan pandangan mataku. Aku sedikit kaget melihat ruangan serba putih,
melihat selang-selang infus, melihat orang-orang berpakaian serba putih.
Dante dan istriku, Maria memelukku. Mereka
ku larang untuk menangis. Maria bilang, aku terkena serangan jantung koroner, tetapi tidak terlalu serius dan sudah teratasi. Dokter pun telah mengizinkan aku
pulang.
Maria mencegahku. Dia memintaku untuk bertahan
di rumah sakit sehari atau dua hari lagi atau kami tinggal di hotel beberapa
hari.
”Kenapa?”
Maria tersenyum, ”Ya, supaya ayah makin sehat saja atau bisa lebih
tenang … .”
Akhirnya kami tidur di hotel paling mewah di
kota Margaz. Orang-orang kantor mengunjungiku untuk meminta tanda tangan atau
membicarakan urusan lainnya. Ketika kurasakan keadaanku membaik, aku minta
segera pulang ke rumah. Aku sudah sangat rindu mencium bau bantal atau memakai
sandal rumah yang nyaman. Maria mencegahku. Aku memaksa, tapi ia tetap
memintaku tinggal di hotel.
”Sudah seminggu ini rumah kita didatangi orang-orang tak dikenal.
Pakaian mereka lusuh. Ucapan-ucapan mereka sangat kasar. Katanya, mereka korban
penggusuran pembangunan mal di daerah Kraz,” ujar Maria sambil menggenggam
tanganku.
Mendadak handphone mengisyaratkan ada
pesan pendek yang masuk. Langsung kubuka. ”Aku hanya butuh hatimu, kawan.”
Begitu pesannya.
Napas dalam-dalam kuhela. Jelas itu pesan
pendek dari Gradaz. Tapi dari mana Gardaz tahu tahu nomor handphone-ku?
”Benar. Aku Gardaz. Aku tahu nomor HP-mu dari seorang perempuan,
katanya sih pacarmu … .”
“Pacarku yang mana? Gristha? Gretha? Sylha? Deerva? Atau Dumma?”
Muncul lagi kiriman pesan, ”Salah satu dari mereka”.
Bagaimana Gardaz bisa mengenalnya?
”Gadis itu kukenal saat aku mengunjungi Ibunya yang rumahnya kamu
gusur untuk Mall, Bung”.
Huruf-huruf di dada handphone itu terasa
berdesak-desak di benak. Kepalaku terasa berputar-putar.
”Ayah baik-baik saja?” Maria menyeka keringat di keningku.
Aku mengangguk. Beberapa menit kemudian datang pesan pendek dari
Gardaz.
”Aku hanya butuh hatimu. Aku percaya, kamu tetap orang baik … .”
Kalimat itu terasa meremas jantungku. Aku ingin
menjawabnya: diriku sangat tidak layak menjadi teman Gardaz yang mampu bertahan
untuk tetap bersih berkilau seperti orang- orang suci atau nabi.
”Kamu ingat diskusi kita tiga puluh tahun lalu, tentang kelas
menengah yang selalu berkhianat, kawan?”
Jantungku berdebar membaca pesan itu. Tanganku
gemetar. Kepalaku terasa berputar-putar. Tubuhku seperti melayang dan akhirnya
tumbang. Maria menjerit, dokter kemudian datang. Tabung oksigen disalurkan di hidungku.
Tubuhku sangat lemas, tetapi sesak dadaku sudah sangat berkurang.
Beberapa minggu kemudian aku akhirnya pulih dan
diperbolehkan untuk pulang. Aku meminta Maria untuk mengambilkan handphone untuk
sekadar mengecek apakah Gardaz masih mengirimi pesan. Saat ku lihat ternyata
tidak ada pesan masuk darinya. Aku bertanya pada Maria apakah selama ini ada orang
yang mengirimi pesan aneh. Maria tersenyum menjawab tidak ada, dan mengatakan
bahwa di rumah juga sudah aman, tidak ada lagi orang asing yang datang sembari
memaki. Aku pun merasa lega mendengarnya. Aku, Maria dan Dante segera bergegas
pulang ke rumah kami.
***
Dua bulan sudah
berlalu semenjak aku keluar dari rumah sakit kala itu. Pembangunan mall juga
sudah hampir 60% selesai. Kabar mengenai Gardaz belum
juga aku terima. Namun, kali ini bukan berarti baku juga mengharapkan kabar
darinya setelah ucapannya tempo lalu.
Hari-hari di rumah dan di kantor akhirnya terasa normal kembali seperti saat
sebelum Gardaz muncul.
Sore
ini aku mendapat undangan dari Gubernur kota Glarus. Aku memutuskan untuk
berangkat sendiri dari kota Margaz ke Glarus. Tiba di Glarus, Olipe, Gubernur
Glarus itu menyambutku dengan hangat. Lama kami berbincang sampai tidak terasa
waktu sudah menunjukkan pukul 21.00 dan aku pun memutuskan untuk pamit. Olipe
menahanku dan menyuruhku untuk kembali ke Margaz esok pagi saja. Namun, aku menolak
ketika aku teringat janji dengan anakku untuk mengajaknya pergi esok pagi di
akhir pekan. Akhirnya Olipe pun luluh dan menawarkan supirnya untuk mengantarku.
Kalau aku menolak, dia mengancam akan mengebom Margaz. Aku dan Olipe seketika
tertawa. Aku pulang ke Margaz dengan supir Olipe.
Sepanjang
jalan kendaraan tidak banyak terlihat lalu lalang. Hanya sekitar satu sampai
tiga mobil saja yang mendahului mobil kami setiap 15 menit. Tidak biasanya pula
malam ini terasa begitu dingin. Tiba-tiba aku teringat Dante dan Maria. Aku pun
membuka handphone-ku dan mencoba untuk memberi pesan singkat pada Maria
kalau aku sedang dalam perjalanan pulang. Ternyata saat itu Maria belum tidur.
Dia membalas pesan singkatku dengan cepat. Lalu aku pun teringat akan
Dante. Ku tanyakan perihal Dante pada Maria. Tiba-tiba panggilan video dari
Maria masuk. Segera aku pun langsung mengangkatnya.
“Ayah ... Dante rindu ayah. Ayah, pukul berapa sampai di rumah?”
tanyanya dengan lagak polos anak seusianya. Saat ini, Dante baru berumur 6
tahun. Anak mahal kata kebanyakan orang. Mungkin karena aku dan Maria baru
dikaruniai anak setelah 10 tahun menikah.
“Ini Ayah sedang di perjalanan, Dante. Sebentar lagi Ayah
sampai, ya.”
“Ya, Ayah, Dante rindu. Ingin peluk, Ayah,” katanya sembari ku lihat
air matanya mengembun.
Tidak biasanya Dante jadi serewel ini. Biasanya
saat aku pergi berhari-hari pun dia tidak akan berkata rindu padaku. Embusan
angin dingin malam yang menerobos lewat sela-sela kaca mobil membuatku semakin
ingin cepat pulang. Entahlah, malam ini terasa
asing bagiku.
Tiba-tiba supir Olipe meminta izin untuk menepi sebentar lantaran ingin
buang hajat. Wajahnya sudah pucat karena sengaja ditahan semenjak ingin
berangkat menuju Margaz. Katanya sungkan izin pada Bapak Olipe kalau ia ingin izin ke
belakang dahulu. Tidak tega dengan wajahnya yang sudah di ujung, akhirnya
mobil kami pun menepi.
Aku memutuskan untuk menunggu di mobil, sedangkan supir itu aku suruh untuk pergi agak jauh ke semak-semak supaya
baunya tak sampaiku hirup. Sekang semuanya benar-benar terasa sepi. Lagi-lagi, mobil malam itu tidak
banyak yang melintas. Lampu jalan yang ada pun tidak terlalu terang. Suara
hewan malam semakin jelas terdengar.
Angin kembali berembus. Kali ini lebih kencang
rasanya. Panggilan video sudah berakhir semenjak supir itu izin buang hajat.
Sepi semakin terasa menusuk jas yang sedari pagi ini belum diganti.
Dari kejauhan aku
melihat sesosok pria jalan menuju ke arah
mobil. Ah, pasti itu si supir.
Semakin dekat lalu akhirnya semakin dekat dan terlihat bahwa tubuhnya tak segemuk supir tadi. Ah, mungkin
demit yang ingin iseng. Aku pun akhirnya berusaha untuk memejamkan mata.
Tok-tok-tok
Pintu kaca mobil ada yang mengetuk. Namun, aku
memutuskan untuk tidak menghiraukannya.
Tok-tok-tok
Ketukan itu
terdengar semakin kencang.
“Hector, tolong buka
pintunya.”
Tiba-tiba aku
terperanjat. Aku mengenal betul suara itu. Ya, tidak salah lagi itu pasti dia.
“Gardaz?” kataku pelan sembari menengok ke kaca mobil.
Senyumnya
menyeringai di balik kaca mobil itu. Aku tidak percaya dengan apa yang
aku lihat. Ku tatap benar-benar
laki-laki kurus itu.
Tok-tok-tok “Hector, buka pintu mobilmu!” perintahnya sekali lagi
sambil tersenyum.
Aku pun tersadar
kemudian membuka pintu dan keluar. Jadi lah aku sekarang berhadap-hadapan dengannya.
“Kenapa kamu bisa sampai di sini?”
“Kau itu seperti tidak tahu aku saja. Dulu aku ini aktivis. Di mana
ada kerusuhan, di mana ada ketidakadilan
yang menyengsarakan aku akan ada di tempat itu.”
Lagi-lagi
kata-kata itu membuat dadaku sakit. Kata-kata yang sepertinya ditujukan
kepadaku. Apa yang salah?
“Ya, aku tahu. Tapi bagaimana kamu bisa sampai di sini, dan
menemuiku seperti ini?” tanyaku penasaran.
“Entahlah. Darah mudaku
masih mengalir sepertinya. Semangat juang menempuh jalan menjemput
keadilan masih tertanam subur dalam diriku nampaknya.” ucapnya bangga sambil melihat
gelapnya langit malam.
“Ya, kamu belum berubah.”
Belum sedetik aku selesai berbicara, Gardaz berteriak, “Lalu kenapa
kamu berubah, Hector?!”
“Apa yang berubah dariku?” Aku mulai sedikit terbawa emosi.
“Kau berubah menjadi penguasa sampah seperti yang sering kita
diskusikan semasa kuliah dulu!” tatapannya tajam ke arahku, “kamu ingat diskusi kita tiga puluh tahun lalu, tentang kelas
menengah yang selalu berkhianat, kawan”
katanya mulai menurunkan nada bicaranya.
Aku ingat kalimat itu. Kalimat yang pernah Gardaz kirim dalam pesan
singkat.
“Ya, aku ingat.”
“Kamu lah penghianat itu sekarang, Hector.” Senyumnya sinis.
“Tidak. Aku tidak seperti mereka!”
“Ya, sekarang kamu tidak lebih dari sekadar penghianat dan penguasa
sampah, Hector.”
“Tidak. Aku tidak seperti mereka.”
“Ya ‘Baginda Gubernur’ dasar penghianat.”
“Apa yang kamu mau
sebenarnya, Gardaz?” aku mulai naik pitam.
“Bukankah sudah kukata kan tempo lalu? Aku hanya ingin
hatimu ... hatimu ... hati nuranimu ...”
“Karena masalah pergusuran itu?” tanyaku sinis.
“Mengapa kamu tidak memihak kami dan mendengarkan aku? Mengapa kamu
menjadi seperti mereka yang dulu habis-habisan ingin kita lawan?”
“Aku tidak seperti mereka, Gardaz. Berapa kali harus ku katakan. Aku
tidak seperti mereka!”
“Apa bedanya kamu dengan mereka, Hector?”
“Kamu hanya tahu di luarnya saja. Kamu tidak tahu perjuanganku
membela mereka kaum tergusur. Mereka tidak aku biarkan seperti yang lain. Gardaz. Kamu tidak lihat setiap
bulan mereka aku beri santunan yang jumlahnya lebih dari cukup? Kamu tidak
lihat mereka aku beri jaminan atas rumah mereka yang aku gusur? Aku tidak
seperti mereka, Gardaz. Aku tetap akan memperjuangkan apa yang sudah aku
janjikan semenjak aku bergabung dengan aktivis dan bertemu denganmu, Gardaz!”
“Hahahaa. Berarti kau juga masih ingat dengan janjiku bahwa aku
akan membasmi mereka yang menyengsarakan rakyat?”
“Ya, bahkan kamu tidak segan-segan menekan pelatukmu untuk mereka
jika tuntutan keadilan rakyat tidak terpenuhi.”
“Hahahaa. Ya, kau benar. Kalau saja aku tidak tertembak, Clawuz
sampah itu sudah mati ditanganku. Namun, aku dengar akhirnya dia mengundurkan
diri. Sayang sekali, sebetulnya aku sudah gatal. Setiap hari aku mendengar
tangis ketidakadilan. Bukan hanya luka tembakku saja yang sakit, kupingku juga
terasa sakit.”
“Ya, tidak sampai seminggu Clawuz turun tahta.”
“Kau sekarang benar-benar menjadi bagian dari mereka.”
“Tidak. Aku tidak seperti mereka! Kau harus percaya padaku. Kau
sahabatku kau kawanku, Gardaz! Siapa yang telah meracunimu?”
“Kau tau Marta? Aku bertemu dengannya sebelum berjumpa dengan
kau, Hector. Dia juga politikus sama seperti kau. Tapi dia tidak busuk
sepertimu yang tega merampas hak rakyat demi menguntungkan dirimu sendiri!”
“Jadi karna Marta? Marta teman kita, lawan politikku semasa pemilihan lalu? Kau tahu, dia tidak pernah menyukaiku semenjak
kuliah dulu. Kau tahu sendiri dia selalu mencari masalah denganku dan berbicara
yang bukan-bukan tentang aku, Gardaz. Apa kau lupa itu? Kau lupa cara melihat
kebenaran dan kepalsuan?”
“Cukup! Diam kau, Hector! Jangan sok
menasihatiku. Aku hanya melihat dan mendengar apa yang sesuai dengan apa yang
kulihat dan kudengar dengan mata kepalaku sendiri! Kenapa kamu
tidak mendengarkan aku, Hector. Kamu ingin aku
menarik pelatuk untukmu?” tiba-tiba dia menodongkan pistol ke arahku.
Sontak aku terkejut, “Gardaz, apa yang kamu lakukan!”
“Kamu tidak mendengarkanku, kamu tidak mendengarkan penderitaan
rakyatmu! Kamu tidak mendengarkan pesan pendekku, Hector? Aku memberimu waktu
dua bulan karena kamu sahabatku. Nyatanya, kamu tidak ada mendengarkan aku”
“Tidak, kamu salah mengerti tentang aku. Aku tidak seperti mereka!”
“Ya, ya ... kamu seperti mereka atau tidak yang aku tahu keadilan
harus tegak. Pembuat penderitaan itu harus tenggelam agar adil dapat terwujud!
Maaf Hector, ini karena kamu tidak mendengarkan pesan pendekku”
Aku dan Gardaz sontak berkelahi. Tidak ada
kendaraan yang lewat saat itu. Aneh, sial! Supir itu pun tak juga kunjung
kembali. Akan kah ini malam terakhirku?
Tiba-tiba suara tembakan pecah. Aku merasa
sesak. Seperti ada yang menusuk masuk ke dalam tubuhku. Gardaz menjauh dariku.
Noda bercak darah segar terlihat di
kemeja putihku. Tiba-tiba Gardaz tumbang ke tanah. Tangannya memegang
perut yang bersimbak darah. Aku meraba-raba tubuhku mencari luka tembak. Namun di sebrang sana justru Gardaz merintih kesakitan karena pelurunya
sendiri. Peluru yang membunuhku ternyata
membunuh dirinya sendiri. Dadaku mulai terasa sesak lagi. Napasku tersendat. Semuanya berubah menjadi gelap.
***
Ketika aku membuka mata aku sudah berada di
ruangan serba putih. Mungkin kah aku
sudah di surga? Akan tetapi, sayup-sayup aku mendengar suara Dante dan Maria.
Kesadaranku mulai bertambah. Ku tatap Maria dan Dante menangis di samping
ranjangku. Orang-orang berbaju putih dan
bermasker datang menanganiku.
Beberapa jam kemudian aku sudah cukup benar-benar sadar. Aku dapat mengenal orang-orang di sekelilingku
dan berbicara dengan mereka. Akhirnya aku bertanya apa yang sebenarnya terjadi
kepada Maria. Maria akhirnya menceritakan semuanya. Tentang perkelahianku dengan Gardaz, dan tewasnya Gardaz oleh
pelurunya sendiri. Supir Olipe yang membawaku ke rumah sakit. Dia menyaksikan
semua percakapanku dengan Gardaz malam itu. Sayangnya dia tidak berani
menghampiri. Saat Gardaz dan aku rebah, barulah dia datang.
Setelah mendengar cerita Maria, kembali wajah
Gardaz terlintas di kepalaku. Aku merasa kehilangan seorang kawan dan sahabat yang
sangat kukagumi. Namun, aku tak pernah berharap dia kembali lagi. Aku tak
mungkin bisa berkawan dengan orang suci atau manusia yang sangat berbakat jadi
nabi.
Rekayasa Teks Cerpen Karangan Indra Tranggono Dengan Judul Yang Sama
UNJ 2018
Komentar
Posting Komentar