AKU
LELAH HARUS BERBOHONG
Pagi yang cerah, panas
menyengat
pori-pori. Seperti biasa
kuayunkan langkah
menyusuri kompleks perumahan yang penuh sesak itu. Langkahku agak
tergesa karena aku
tak ingin hari ini
terlambat masuk
kantor. Sesampai di kantor, segudang aktivitas sudah menantiku.
Di sela
kesibukan itu, pikiranku tak karuan. Aku masih teringat pertemuanku
kemarin, di
senja
berpayung
keemasan nan indah. Dia,
wanita
yang kukenal melalui jejaring sosial, wanita dengan aktivitasnya yang menarik
perhatianku,
dia istri
dan ibu dari
anak-anaknya. Aku iri padanya.
Iri,
karena begitu besar dukungan suaminya terhadapnya.
Bahkan suaminya
rela mengantar ke mana pun istrinya pergi untuk memperluas jaringan kepenulisannya.
Ya,
iri karena begitu pandainya dia merangkai kata indah, dan aku iri dengan kata-katanya ini :
“Sebesar apa pun masalah, selalu ada jalan keluar karena
Tuhan
menguji dengan akal kita. Sembunyi di balik senyum bukan ketabahan, tapi penghancuran diri. Dusta itu akan selalu mendewasakan
dosa. Bukan
keraguan namanya
jika sudah
hilang kepercayaan pada diri.
So, jadilah diri seutuhnya bukan karena orang lain, karena hidup bukan sembarang hidup, tapi hidup untuk mendapatkan nilai terbaik.”
Aku merenungkan
kata-kata itu, menghela napas berkali-kali. Membuang perasaan sedih yang seakan menumpuk di dada. Aku menyadari
sudah berapa banyak
kebohongan yang
aku lakukan hanya
karena ketakutanku menghadapi kenyataan yang sesungguhnya. Aku
juga lelah harus berbohong, tapi hanya itu yang bisa kulakukan. Namun, akibat
kebohongan itu pula banyak hal yang telah kudapat, lebam membiru di
sekujur tubuhku,
dan
ocehan kemarahan yang selalu kudengar.
Kebohongan
yang kulakukan itu juga karena bila aku jujur, hal yang sama juga yang akan aku dapat.
Aku takut, aku kehilangan kepercayaan
diriku, aku juga selalu meragu. Sejujurnya itulah yang kualami. Hidupku adalah semu, bahagiaku
juga semu. Senyumku juga
semu.
Aku
harus
berubah. Berkali kata
itu
kuungkapkan dalam hati, tapi sampai detik ini aku masih seperti itu. Takut mengatakan yang sesungguhnya.
***
Pipiku basah, ini kali pertama kubaca curahan
hati Amelia, wanita
dengan wajah sayu, yang berkunjung ke rumahku
tepat sehari setelah
kami bertemu secara langsung. Dia begitu tertekan. Aku berkali-kali terhenyak, mendengar ucapannya yang keluar begitu saja dari bibir pucatnya.
“Maaf, Mbak, saya gak bisa sering-sering ke luar rumah, sekarang
juga
mohon maaf, ya, saya datangnya
terlambat. Saya janji jam 10, eh, nyampe sini jam segini,” ucapnya sembari merapikan
rambutnya yang tergerai berantakan karena angin saat dia dibonceng pengemudi ojek menuju rumahku.
“Gak pa-pa deh, tapi tadi sempat kecewa juga. Kok janji jam 10 gak
datang-datang hehe.”
“Iya, Mbak. Sekali lagi mohon maaf ya.”
“Iya, gak pa-pa.”
“Sebenarnya, saya ini
juga mencuri-curi waktu, Mbak. Saya
...,”
ucapnya terbata-bata.
“Kenapa harus mencuri-curi waktu begitu?”
“Iya Mbak. Saya takut sama suami saya. Ini juga saya gak bilang kalau
mau ketemu Mbak. Suami saya pasti marah kalau saya cerita ketemu dengan orang-orang dari dunia maya.”
“Lho, kok bisa begitu?”
“Iya,
Mbak.
Itu
karena saya pernah
ketahuan menulis
sesuatu. Seperi curahan hati saya, padahal tulisan saya itu jujur Mbak. Dalam tulisan
saya, hanya ungkapan
penyesalan saya kalau di dunia maya banyak yang merayu dan mengajak saya bertemu, sementara
di nyata hidup saya, saya selalu mendapatkan kekerasan dari suami saya.” Amelia terdiam sejenak.
“Terus .., ?” tanyaku penasaran.
“Dalam tulisan saya itu, saya justru ungkapkan penyataan
cinta dan sayang saya ke suami. Perasaan menyesal dan perasaan agar selalu dilindungi Allah SWT. Namun ,sejak hari itu, saya selalu
dicurigai Mbak.
Saya dilarang memegang HP bila
di rumah.
Dilarang menulis apa pun.
Bukan itu saja, saya akan dipukuli bila saya ketahuan menulis.”
Aku terdiam mendengarnya, “Begitu pandainya dia menyimpan deritanya itu,” gumamku
dalam hati. Selama
ini aku tak pernah
menyangka, Amelia mempunyai masalah
seberat itu.
“Lalu?” ucapku kemudian masih penasaran.
“Ya,
sejak saat itu juga, Mbak. Saya selalu berbohong,” ucapnya lirih.
“Berbohong?” tanyaku memastikan.
“Iya, berbohong kalau di belakang suami. Saya masih menulis dan
masih berkomunikasi
dengan orang-orang dunia maya, tapi hanya mengenai
tulisan. Selama ini saya tidak pernah ingin selingkuh, saya selalu mengalah
demi
ketenteraman rumah tangga
kami.
Saya tidak
pernah berani
menulis
satu kata pun di depan suami. Saya juga tak berani
memegang
Hp saya bila di depan suami. Namun, saya ... .” Amelia terdiam. Air matanya mulai menetes. Dia lalu melanjutkan kata-katanya.
“Saya, selalu menerima
walau sering dipukul suami, Mbak. Saya selalu diam. Hanya saya sedih, semua ini seperti bom waktu. Anak-anak saya melihat adegan kekerasan itu. Kebahagian
yang saya beri ke anak- anak adalah kebahagiaan semu. Saya juga selalu berbohong karena takut.”
“Kenapa tidak berusaha jujur?”
“Ya, karena
kalau jujur pasti
akan ribut setiap hari
Mbak.
Saya sempat benar-benar menuruti
kata-kata
suami,
tidak menulis,
tidak berselancar di jejaring sosial, hati saya tambah sakit Mbak. Menulis itu
bagian dari hidup saya.”
Aku kehabisan kata-kata. Aku tak ingin menyalahkan
sepenuhnya,
berbohong memang salah. Namun, bagaimana bila aku yang menjadi dia? Sebagai manusia kadang kita selalu melihat kesalahan dari orang lain, tapi
apakah kita pernah mencari alasan mengapa dia melakukan kesalahan itu.
Lagu Agnes Monica mengalun
dari
Hpnya. Begitu syahdu dan menyayat hati. Rindunya Eross Djarot begitu nyaring terdengar dengan lirik
yang apik. Namun mengapa membuat wajah Amelia berubah panik.
“Telepon dari suami saya Mbak, saya harus jawab apa ya?” Amelia
begitu
ketakutan. “saya
harus
pulang
Mbak.
Harus!” ucapnya
dengan wajah stres.
“Udah tenang saja dulu.”
“Saya harus pulang Mbak. Kalau tidak, wah, saya gak tahu apa yang terjadi Mbak.”
“Ya sudah, nanti diantar, ya.”
Amelia terlihat tambah panik. Dia lari keluar sembari menelepon balik ke suaminya.
Beberapa saat kemudian dia kembali dengan wajah semakin pucat.
“Mbak, saya harus segera pulang. Kalau tidak bisa habis saya dimarahi
suami saya, Mbak.”
Aku dan suamiku pun memutuskan untuk
mengantar Amelia ke rumahnya lantaran takut terjadi sesuatu dengan Amelia.
Awalnya ia melarang kami mengantar sampai depan rumah. Namun, karena khawatir
dengan keadaan Amelia, aku dan suamiku membujuknya agar mau diantar sampai
depan rumah.
Sesampainya di depan rumah, terlihat
suami Amelia sudah menunggu dengan raut wajah yang serius. Sekilas agak membuat aku takut untuk
berhadapan dan bertemu dengan suami Amelia itu. Namun, aku mencoba memberanikan
diri karena lagi-lagi aku memimikirkan Amelia yang sudah sangat panik dan
ketakutan. Lagi pula saat ini suamiku bersamaku.
Saat melihat kami turun dari mobil
wajah suami Amelia berubah hangat. Dia tersenyum ramah kepada kami dan langsung
menyambut kedatangan kami. Sempat suami Amelia menawarkan aku dan suami untuk
masuk ke rumah mereka sebentar. Namun, lantaran sudah larut suamiku memutuskan
untuk segera pulang saja.
Di perjalanan pulang sempat
terbesit dipikiranku apa yang Amelia takuti dari suaminya yang terlihat ramah
tadi? Pusing dengan pikiranku yang belum juga mendapatkan jawaban, akhirnya
kuputuskan untuk membicarakannya dengan suami.
“Mas, kalau dilihat-lihat, tadi
suaminya Amelia baik kok, ya?”
“Iya,
betul. Tadi aja langsung ajak salaman duluan sama, Mas.”
“Tapi
kenapa Amelia takut sekali dengan
suaminya, ya?”
“Mungkin
ada masalah lain yang enggak kita tahu.”
“Atau jangan-jangan, Amelia bohong sama kita soal suaminya, ya, Mas?”
“Duh,
kamu sejak kapan jadi suuzon gini sama orang lain? Udah, itu urusan keluarga
mereka. Kita enggak usah ikut campur, ya.”
“Aku bukannya ikut campur, Mas. Cuma kepikiran aja, kok.”
“Iya, itu
sama aja, tau.”
“Beda,
Mas!”
“Iya, iya,
terserah kamu, deh.”
Akupun tertawa karena jawaban suamiku itu. Diskusiku dan suami tentang
keluarga Amelia akhirnya selesai.
***
Sudah sebulan sejak pertemuan terakhirku dengan Amelia. Sejak
mengantarnya ke rumah sampai hari ini aku belum mendapat kabar dari Amelia.
Dalam media sosialnya sesekali aku masih melihat Amelia memposting tulisannya.
Namun, tulisannya kali ini lebih sering mengarah pada hal keagamaan, seperti
hijrah, jihad, dan sebagainya. Dia pun sudah mulai jarang membalas komentar dan
pesan di media sosialnya.
“Mungkin takut ketahuan suaminya, ya? Makannya agak sulit untuk balas
pesan dan komentar di media sosialnya sekarang?” tanyaku pada diri sendiri
dalam hati.
Karena bosan aku memutuskan untuk menonton tv di ruang keluarga. Waktu
menunjukkan pukul 5 sore. Pada hari Jumat biasanya pukul 4 pun suamiku sudah di
rumah. Namun, sepertinya hari ini dia pulang telat. Sebenarnya, ada sedikit perasaan kurang
enak, tetapi semua itu segera aku buang jauh-jauh dari benakku.
Acara TV menayangkan berita sekilas info. Baru sebentar menonton ibu mertuaku datang ke rumah
sembari menangis dan langsung memelukku.
“Lho, Ibu kenapa? Kenapa
tiba-tiba datang terus menangis? Bapak mana, Bu? Ibu sendiri ke
sini enggak sama Bapak? Ibu enggak lagi berantem, kan sama Bapak?”
Ibu mertuaku tidak menjawab satu pun pertanyaanku. Hanya terus menangis
sembari memelukku.
“Bapak kemana, Bu? Bapak baik-baik saja, kan, Bu?” Ibu mengangguk sembari
menatapku dan mengelus lembut kepalaku.
Tiba-tiba sebuah nama yang aku kenal dengan baik terdengar disebut dalam siaran berita
yang tadi kutonton. Remot tv yang kugenggam terlepas dari tangan. Seketika
badan ini terasa tidak bertulang lagi.
“Bu, itu bukannya nama Mas Wildan? Wildan Habibie, Bu? Suami aku?"
“Kamu yang sabar, ya, Nak. Ini adalah cobaan untuk kita. Kamu harus
kuat.” Ibu terus memeluk dan
berusaha menenangkan aku.
“Kenapa nama Mas Wildan disebut-sebut Bu? Kenapa nama Mas
Wildan disebut-sebut di dalam berita bom bunuh diri itu, Bu, kenapa?” tangisku
pecah seketika dalam pelukan ibu.
Aku menatap perih layar tv. Dadaku sesak. Semakin sesak saat berita tersebut
memperlihatkan video amatir seorang pria yang sekilas kukenal pasti itu adalah Mas Wildan yang sedang berhadapan dengan
dua orang, yaitu laki-laki dan perempuan
dalam sebuah gedung. Ternyata keduanya adalah seorang teroris yang mencoba
menarik perhatian orang-orang agar berkumpul dengan cara berpura-pura akan
melakukan percobaan bunuh diri di lantai sepuluh. Gedung itu adalah gedung
tempat suamiku bekerja. Aku kenal dua orang yang itu. Amelia dan suaminya.
“Bu itu Amelia Bu, Amelia sama suaminya!”
“Kamu kenal sama dua teroris itu, Nak?”
“Teroris, Bu? Gak mungkin, Amelia itu orang baik. Suaminya juga
ramah sama kami. Aku sama Mas Wildan
pernah ke rumah mereka kok. Amelia juga pernah ke rumah ini, Bu.”
“Kamu pernah ajak teroris itu ke
rumah ini?”
“Amelia bukan teroris, Bu. Dia penulis, bukan teroris!” tangisku
semakin pecah saat video tersebut memperlihatkan detik-detik bom meledak.
Kekuatan ledakan memang tidak terlalu kuat dan menghancurkan gedung. Tetapi
karena posisi suamiku yang sangat dekat dengan Amelia dan suaminya, suamiku pun
ikut menjadi korban. Tubuh Amelia dan suaminya hancur, sedangkan tubuh suamiku
hanya sebagian yang hancur.
“Kamu yang sabar ya, nak.”
“Mas Wildan, u. Kenapa Amelia
jahat sama keluarga aku? Kenapa dia bunuh Mas Wildan? Kenapa dia bohong
sama aku kalau ternyata dia sama suaminya itu teroris! ... Aku mau ke sana, Bu. Aku mau
nyusulin mas Wildan, Bu.”
“Kamu tenangin diri dulu di sini. Di sana udah ada Bapak yang
urus jenazah suami kamu.”
“Enggak, aku harus susul Mas Wildan. Aku harus ketemu mas Wildan.”
“Jangan khawatir. Aku sudah baik-baik saja di sini. Matiku tidak
sia-sia. Demi melindungi yang lain, aku bejihad di jalan Allah SWT.”
Jihad. Aku teringat tulisan-tulisan Amelia beberapa minggu terakhir di
laman media sosialnya. Kepalaku pening dan semuanya pun menjadi gelap. Hanya
suara tangisan dan teriakan ibu yang masih dapat kudengar sayup-sayup tetapi perlahan
hilang. Dalam hati, semua coba kupasrahkan kepada Allah SWT.
Rekayasa Teks Cerpen Rona Kehidupan Karangan
Menning Alamsyah Dengan Judul Yang Sama
UNJ 2019
Komentar
Posting Komentar