AKU LELAH HARUS BERBOHONG


AKU LELAH HARUS BERBOHONG

Karangan: Resti Hanafiani

Image by <a href="https://pixabay.com/users/schwerdhoefer-6930734/?utm_source=link-attribution&amp;utm_medium=referral&amp;utm_campaign=image&amp;utm_content=2917652">Roland Schwerdhöfer</a> from <a href="https://pixabay.com/?utm_source=link-attribution&amp;utm_medium=referral&amp;utm_campaign=image&amp;utm_content=2917652">Pixabay</a>

Pagi yang cerah, panas menyengat pori-pori. Seperti biasa kuayunkan langkah menyusuri kompleks perumahan yang penuh sesak itu. Langkahku agak  tergesa karena aku  tak  ingin hari ini  terlambat masuk kantor. Sesampai di kantor, segudang aktivitas sudah menantiku. Di sela kesibukan itu, pikiranku tak karuan. Aku masih teringat pertemuanku kemarin,  di  senja  berpayung  keemasan  nan  indah.  Dia,  wanita  yang kukenal melalui jejaring sosial, wanita dengan aktivitasnya yang menarik perhatianku,  dia  istri  dan  ibu  dari  anak-anaknya.  Aku  iri  padanya.  Iri, karena begitu besar dukungan suaminya terhadapnya. Bahkan suaminya rela mengantar ke mana pun istrinya pergi untuk memperluas jaringan kepenulisannya. Ya, iri karena begitu pandainya dia merangkai kata indah, dan aku iri dengan kata-katanya ini :

Sebesar apa pun masalah, selalu ada jalan keluar karena Tuhan menguji dengan akal kita. Sembunyi di balik senyum bukan ketabahan, tapi penghancuran diri. Dusta itu akan selalu mendewasakan dosa. Bukan keraguan    namanya    jika    sudah     hilang    kepercayaan    pada   diri. So, jadilah diri seutuhnya bukan karena orang lain, karena hidup bukan sembarang hidup, tapi hidup untuk mendapatkan nilai terbaik.”

Aku merenungkan kata-kata itu, menghela napas berkali-kali. Membuang   perasaan   sedih   yang   seakan   menumpuk   di   dada.   Aku menyadari  sudah  berapa  banyak  kebohongan yang  aku  lakukan  hanya karena ketakutanku menghadapi kenyataan yang sesungguhnya. Aku juga lelah harus berbohong, tapi hanya itu yang bisa kulakukan. Namun, akibat kebohongan itu pula banyak hal yang telah kudapat, lebam membiru di sekujur tubuhku, dan ocehan kemarahan yang selalu kudengar. Kebohongan yang kulakukan itu juga karena bila aku jujur, hal yang sama juga yang akan aku dapat.

Aku takut, aku kehilangan kepercayaan diriku, aku juga selalu meragu. Sejujurnya itulah yang kualami. Hidupku adalah semu, bahagiaku juga  semu.  Senyumku  juga  semu.  Aku  harus  berubah. Berkali  kata  itu kuungkapkan dalam hati, tapi sampai detik ini aku masih seperti itu. Takut mengatakan yang sesungguhnya.

***

Pipiku basah, ini kali pertama kubaca curahan hati Amelia, wanita dengan wajah sayu, yang berkunjung ke rumahku tepat sehari setelah kami bertemu secara langsung. Dia begitu tertekan. Aku berkali-kali terhenyak, mendengar ucapannya yang keluar begitu saja dari bibir pucatnya.

Maaf, Mbak, saya gak bisa sering-sering ke luar rumah, sekarang juga mohon maaf, ya, saya datangnya terlambat. Saya janji jam 10, eh, nyampe sini jam segini, ucapnya sembari merapikan rambutnya yang tergerai berantakan karena angin saat dia dibonceng pengemudi ojek menuju rumahku.

Gak pa-pa deh, tapi tadi sempat kecewa juga. Kok janji jam 10 gak datang-datang hehe.”

  Iya, Mbak. Sekali lagi mohon maaf ya.” 

  “Iya, gak pa-pa.

Sebenarnya,  saya  ini  juga  mencuri-curi waktu,  Mbak.  Saya  ...,” ucapnya terbata-bata. Aku seperti menangkap kalau dia menyembunyikan sesuatu.

Kenapa harus mencuri-curi waktu begitu?

Iya Mbak. Saya takut sama suami saya. Ini juga saya gak bilang kalau mau ketemu Mbak. Suami saya pasti marah kalau saya cerita ketemu dengan orang-orang dari dunia maya.

Lho, kok bisa begitu?

Iya,  Mbak.  Itu  karena  saya  pernah  ketahuan  menulis  sesuatu.  Seperi curahan hati saya, padahal tulisan saya itu jujur Mbak. Dalam tulisan saya, hanya ungkapan penyesalan saya kalau di dunia maya banyak yang merayu dan mengajak saya bertemu, sementara di nyata hidup saya, saya selalu mendapatkan kekerasan dari suami saya. Amelia terdiam sejenak.

Terus .., ? tanyaku penasaran.

Dalam tulisan saya itu, saya justru ungkapkan penyataan cinta dan sayang saya ke suami. Perasaan menyesal dan perasaan agar selalu dilindungi Allah SWT. Namun ,sejak hari itu, saya selalu dicurigai Mbak. Saya  dilarang memegang HP  bila  di  rumah.  Dilarang menulis apa  pun. Bukan itu saja, saya akan dipukuli bila saya ketahuan menulis.”

Aku terdiam mendengarnya, Begitu pandainya dia menyimpan deritanya   itu,”   gumamku   dalam   hati.   Selama   ini   aku   tak   pernah menyangka, Amelia mempunyai masalah seberat itu.

Lalu?” ucapku kemudian masih penasaran.

Ya, sejak saat itu juga, Mbak. Saya selalu berbohong,” ucapnya lirih.

Berbohong?” tanyaku memastikan.

Iya, berbohong kalau di belakang suami. Saya masih menulis dan masih berkomunikasi dengan orang-orang dunia maya, tapi hanya mengenai tulisan. Selama ini saya tidak pernah ingin selingkuh, saya selalu mengalah  demi  ketenteraman  rumah  tangga  kami.  Saya  tidak  pernah berani menulis satu kata pun di depan suami. Saya juga tak berani memegang Hp saya bila di depan suami. Namun, saya ... .” Amelia terdiam. Air matanya mulai menetes. Dia lalu melanjutkan kata-katanya.

Saya, selalu menerima walau sering dipukul suami, Mbak. Saya selalu diam. Hanya saya sedih, semua ini seperti bom waktu. Anak-anak saya melihat adegan kekerasan itu. Kebahagian yang saya beri ke anak- anak adalah kebahagiaan semu. Saya juga selalu berbohong karena takut.”

Kenapa tidak berusaha jujur?

Ya,  karena  kalau  jujur  pasti  akan  ribut  setiap  hari  Mbak.  Saya sempat  benar-benar menuruti  kata-kata  suami,  tidak  menulis,  tidak berselancar di jejaring sosial, hati saya tambah sakit Mbak. Menulis itu bagian dari hidup saya.

Aku kehabisan kata-kata. Aku tak ingin menyalahkan sepenuhnya, berbohong memang salah. Namun, bagaimana bila aku yang menjadi dia? Sebagai manusia kadang kita selalu melihat kesalahan dari orang lain, tapi apakah kita pernah mencari alasan mengapa dia melakukan kesalahan itu.

Lagu Agnes Monica mengalun dari Hpnya. Begitu syahdu dan menyayat hati. Rindunya Eross Djarot begitu nyaring terdengar dengan lirik yang apik. Namun mengapa membuat wajah Amelia berubah panik.

Telepon dari suami saya Mbak, saya harus jawab apa ya?” Amelia begitu  ketakutan.  saya  harus  pulang  Mbak.  Harus!”  ucapnya  dengan wajah stres.

Udah tenang saja dulu.”

Saya harus pulang Mbak. Kalau tidak, wah, saya gak tahu apa yang terjadi Mbak.”

Ya sudah, nanti diantar, ya.

Amelia terlihat tambah panik. Dia lari keluar sembari menelepon balik ke suaminya. Beberapa saat kemudian dia kembali dengan wajah semakin pucat.

“Mbak, saya harus segera pulang. Kalau tidak bisa habis saya dimarahi suami saya, Mbak.”

        Aku dan suamiku pun memutuskan untuk mengantar Amelia ke rumahnya lantaran takut terjadi sesuatu dengan Amelia. Awalnya ia melarang kami mengantar sampai depan rumah. Namun, karena khawatir dengan keadaan Amelia, aku dan suamiku membujuknya agar mau diantar sampai depan rumah.

      Sesampainya di depan rumah, terlihat suami Amelia sudah menunggu dengan raut wajah yang serius.  Sekilas agak membuat aku takut untuk berhadapan dan bertemu dengan suami Amelia itu. Namun, aku mencoba memberanikan diri karena lagi-lagi aku memimikirkan Amelia yang sudah sangat panik dan ketakutan. Lagi pula saat ini suamiku bersamaku.

      Saat melihat kami turun dari mobil wajah suami Amelia berubah hangat. Dia tersenyum ramah kepada kami dan langsung menyambut kedatangan kami. Sempat suami Amelia menawarkan aku dan suami untuk masuk ke rumah mereka sebentar. Namun, lantaran sudah larut suamiku memutuskan untuk segera pulang saja.

     Di perjalanan pulang sempat terbesit dipikiranku apa yang Amelia takuti dari suaminya yang terlihat ramah tadi? Pusing dengan pikiranku yang belum juga mendapatkan jawaban, akhirnya kuputuskan untuk membicarakannya dengan suami.

       “Mas, kalau dilihat-lihat, tadi suaminya Amelia baik kok, ya?”

“Iya, betul. Tadi aja langsung ajak salaman duluan sama, Mas.”

“Tapi kenapa Amelia takut sekali dengan  suaminya, ya?”

“Mungkin ada masalah  lain yang enggak kita tahu.”

            “Atau jangan-jangan, Amelia bohong sama kita soal suaminya, ya, Mas?”

“Duh, kamu sejak kapan jadi suuzon gini sama orang lain? Udah, itu urusan keluarga mereka. Kita enggak usah ikut campur, ya.”

           “Aku bukannya ikut campur, Mas. Cuma kepikiran aja, kok.”

“Iya, itu sama aja, tau.”

“Beda, Mas!”

“Iya, iya, terserah kamu, deh.”

            Akupun tertawa karena jawaban suamiku itu. Diskusiku dan suami tentang keluarga Amelia akhirnya selesai.

***

            Sudah sebulan sejak pertemuan terakhirku dengan Amelia. Sejak mengantarnya ke rumah sampai hari ini aku belum mendapat kabar dari Amelia. Dalam media sosialnya sesekali aku masih melihat Amelia memposting tulisannya. Namun, tulisannya kali ini lebih sering mengarah pada hal keagamaan, seperti hijrah, jihad, dan sebagainya. Dia pun sudah mulai jarang membalas komentar dan pesan di media sosialnya.

          “Mungkin takut ketahuan suaminya, ya? Makannya agak sulit untuk balas pesan dan komentar di media sosialnya sekarang?” tanyaku pada diri sendiri dalam hati.

          Karena bosan aku memutuskan untuk menonton tv di ruang keluarga. Waktu menunjukkan pukul 5 sore. Pada hari Jumat biasanya pukul 4 pun suamiku sudah di rumah. Namun, sepertinya hari ini dia pulang telat. Sebenarnya, ada sedikit perasaan kurang enak, tetapi semua itu segera aku buang jauh-jauh dari benakku.

         Acara TV menayangkan berita sekilas info. Baru  sebentar menonton ibu mertuaku datang ke rumah sembari menangis dan langsung memelukku.

           “Lho, Ibu  kenapa? Kenapa tiba-tiba datang terus menangis? Bapak mana, Bu?  Ibu sendiri ke sini enggak sama Bapak? Ibu enggak lagi berantem, kan sama Bapak?”

           Ibu mertuaku tidak menjawab satu pun pertanyaanku. Hanya terus menangis sembari memelukku.

          “Bapak kemana, Bu? Bapak baik-baik saja, kan, Bu?” Ibu mengangguk sembari menatapku dan mengelus lembut kepalaku.

         Tiba-tiba sebuah nama yang aku kenal dengan baik terdengar disebut dalam siaran berita yang tadi kutonton. Remot tv yang kugenggam terlepas dari tangan. Seketika badan ini terasa tidak bertulang lagi.

        “Bu, itu bukannya nama Mas Wildan? Wildan Habibie, Bu? Suami aku?"

        “Kamu yang sabar, ya, Nak. Ini adalah cobaan untuk kita. Kamu harus kuat.” Ibu terus  memeluk dan berusaha menenangkan aku.

        “Kenapa  nama  Mas Wildan disebut-sebut Bu? Kenapa nama Mas Wildan disebut-sebut di dalam berita bom bunuh diri itu, Bu, kenapa?” tangisku pecah seketika dalam pelukan ibu.

        Aku menatap perih layar tv. Dadaku sesak. Semakin sesak saat berita tersebut memperlihatkan video amatir seorang pria yang sekilas kukenal pasti itu adalah Mas Wildan  yang sedang berhadapan dengan dua orangyaitu laki-laki dan perempuan dalam sebuah gedung. Ternyata keduanya adalah seorang teroris yang mencoba menarik perhatian orang-orang agar berkumpul dengan cara berpura-pura akan melakukan percobaan bunuh diri di lantai sepuluh. Gedung itu adalah gedung tempat suamiku bekerja. Aku kenal dua orang yang itu. Amelia dan suaminya.

        “Bu itu Amelia Bu, Amelia sama suaminya!”

        “Kamu kenal sama dua teroris itu, Nak?”

        “Teroris, Bu? Gak mungkin, Amelia itu orang baik. Suaminya juga ramah sama kami. Aku sama Mas  Wildan pernah ke rumah mereka kok. Amelia juga pernah ke rumah ini, Bu.”

        “Kamu pernah ajak teroris itu ke  rumah ini?”

        “Amelia bukan teroris, Bu. Dia penulis, bukan teroris!” tangisku semakin pecah saat video tersebut memperlihatkan detik-detik bom meledak. Kekuatan ledakan memang tidak terlalu kuat dan menghancurkan gedung. Tetapi karena posisi suamiku yang sangat dekat dengan Amelia dan suaminya, suamiku pun ikut menjadi korban. Tubuh Amelia dan suaminya hancur, sedangkan tubuh suamiku hanya sebagian yang hancur.

        “Kamu yang sabar ya, nak.”

        “Mas Wildan, u. Kenapa  Amelia jahat sama keluarga aku? Kenapa dia bunuh Mas Wildan? Kenapa dia bohong sama aku kalau ternyata dia sama suaminya itu teroris! ...  Aku mau ke sana, Bu. Aku mau  nyusulin mas Wildan, Bu.”

        “Kamu tenangin diri dulu di sini. Di sana udah ada Bapak yang urus jenazah suami kamu.”

        “Enggak, aku harus susul Mas Wildan. Aku harus ketemu mas Wildan.” Napasku semakin sesak tidak karuan. Ibu terus memeluk dan  menahan  diriku yang berontak. Tiba-tiba sekilas terdengar suara Mas Wildan. 

        “Jangan khawatir. Aku sudah baik-baik saja di sini. Matiku tidak sia-sia. Demi melindungi yang lain, aku bejihad di jalan Allah SWT.”

        Jihad. Aku teringat tulisan-tulisan Amelia beberapa minggu terakhir di laman media sosialnya. Kepalaku pening dan semuanya pun menjadi gelap. Hanya suara tangisan dan teriakan ibu yang masih dapat kudengar sayup-sayup tetapi perlahan hilang. Dalam hati, semua coba kupasrahkan kepada Allah SWT.

Rekayasa Teks Cerpen Rona Kehidupan Karangan Menning Alamsyah Dengan Judul Yang Sama

UNJ 2019




Komentar